MINGGU 38; KENCANG!
Tiba-tiba malam itu perut mengencang, seperti seluruh kulit area perut bagian dalam ditarik ke segala arah. Tidak terasa sakit, hanya terasa kurang nyaman. Tapi justru hal itu membuat saya berdebar lega setelah menanti selama sekian waktu. Bagaimana tidak, sudah 38 minggu.
Kalau dihitung-hitung, sembilan bulan sudah lewat dua minggu. Dan akan genap sepuluh bulan dua minggu kemudian. Memang secara hitungan, hari perkiraan yang diberikan adalah sepuluh bulan. Bahkan toleransi medis sampai 42 minggu. Masih lama, dan kudunya saya tenang saja.
Tapi dua orang dekat saya usai pada usia 38 minggu! Sedangkan saya baru dapat 'tanda-tanda'. Tanda-tanda palsu pula, hhh.
Saya jadi ketar-ketir. Berulang kali menyampaikan kekhawatiran pada Rumput. Ini sudah sembilan bulan lebih, nanti kalau lewat tanggal harus operasi mau ga mau.....dan aku ga mau. Penyembuhannya lebih lama, setelahnya juga sakit banget, belum lagi biayanya lebih mahal. Harus sekarang keluarnya!
Dan seperti biasa, Rumput adalah APAR untuk saya ketika sedang mode 'menyala-nyala'.
Iya, ngga papa....jangan dibawa stres. Semua ada waktunya. Hari perkiraannya masih dua minggu lagi kan? Ya ditunggu aja.
Satu sisi spaneng saya berkurang. Tapi jadi makin getol browsing dan nontonin youtube untuk cari tahu apa saja yang bisa dilakukan untuk mempercepat proses. Ya saya tahu semua ada waktunya. Tapi kan diawali ikhtiar dulu baru tawakkal.
Bukannya Rumput ga usaha juga sih, cuma emang sayanya punya sifat agak ppalli-ppalli. Hehehe.
MINGGU 39; MAIN!
Hingga muncul pemberitahuan dari aplikasi di hape Rumput, bahwa, sudah masuk minggu ke 39. Waaaa. Ketar-ketir datang lagi. Tapi kini sudah saya kuatkan tekad untuk tidak mengalah pada kondisi badan yang sedang tidak nyaman-nyamannya. Susah bergerak luwes, gampang lelah, bawaan badan pingin berbaring terus.
Akhirnya setiap subuh saya ikut Rumput salat jamaah ke musala, hitung-hitung sekalian olahraga jalan. Jarak rumah ke musala tiga menit jalan kaki. Nah pulangnya kami muter-muter dulu lewat jalan lain sambil pemanasan tipis-tipis. Awalnya cuma kuat sepuluh menitan. Lama kelamaan saya kuat muterin jalan sekampung. Bahkan balik ke rumah langit sudah terang benderang.
Selain olahraga jalan, saya juga beberapa kali ngepel sambil jongkok. Jadinya rumah lebih bersih. Kan saya minus, kalau ngepel berdiri suka kelewatan bagian kotor yang kudu dilap kuat-kuat.
Kalau aktifitas di rumah bawaannya gampang capek, beda cerita ketika ke luar rumah. Nggak yang jauh-jauh, misalnya belanja mingguan ke pasar, beresin beberapa hal di Dramaga, atau ngikut ngurus pemutusan wifi ke daerah Pajajaran. Bukan semerta-merta saya pingin main ke luar, tapi entah kalau sepeda motoran tuh 'tanda-tanda' nya jadi sering muncul. Perut makin kencang atau ada rasa nyeri karena tekanan di bagian bawah. Pernah sampai ga bisa berkata-kata karena sakiiitt sekali, tapi benar-benar saya nikmati.
Di minggu ini saya masih bisa sempetin belanja ke daerah Surya Kencana, nyari beberapa barang dan bahan untuk bebikinan kue. Karena akhir-akhir ini yang suka eksperimen bukan cuma saya tapi Rumput juga. Lucu juga sama-sama excited waktu menyusuri rak loyang kue.
Pada minggu ini pula saya kontrol di tempat baru, jarak sekitar 5 menit naik sepeda motor. Sebenarnya di Dramaga kami sudah ada jujukan tempat kontrol. Tapi karena kini tinggal di Ciapus, makanya berusaha cari tempat kontrol yang dekat. Saat diperiksa ternyata kadar HB saya rendah. Oleh mereka direkomendasikan untuk minum pil penambah darah dan makan makanan merah seperti bayam merah, buah naga, jambu merah, dan buah bit.
Ohya, pada saat itu pula kami dapat berita gembira bahwa mereka menerima saya melakukan prosedur di tempat tersebut. Mau nangis rasanya, sangat bahagia! InsyaaAllaah kapan-kapan saya ceritakan tentang bagian ini secara khusus.
MINGGU 40; BERDEBAR
Tanggal perkiraan minus enam hari, berarti menjelang tepat sepuluh bulan. Padahal disebuah lagu liriknya adalah, "sembilan bulan......"
Minus lima, empat, tiga hari dari tanggal perkiraan. Jujur, saya semakin tidak sabar. Intensitas dan frekuensi perut mengencang malah berkurang dari minggu sebelumnya.
Minus tiga hari. Kali kedua kontrol, saya datang sendirian tanpa didampingi Rumput. Rumput sedang tidur, tidak tega saya membangunkan karena kasihan, semalaman begadang menyelesaikan job. Toh saya merasa segar pada hari itu. Jadi yaa kenapa tidak?
Saat diperiksa, alhamdulillah semuanya baik-baik saja. Saya dinasehati supaya tidak stres, dibawa bahagia, makan yang bergizi dan istirahat cukup, juga diberi catatan barang-barang apa saja yang harus disiapkan.
Sorenya saya mengajar secara daring seperti biasa.
Malam hari saat buang air kecil, saya mendapati salah satu 'tanda' yang kami nantikan selama ini; flek darah. Flek darah tersebut berbentuk lendir yang keluar bercampur urin. Jantung berdetak lebih kencang, "pokoknya kamu tunggu sampai ada flek darah Zah.....kalau udah gitu pasti bentar lagi, kamu siap siap aja," kata mbak Dini, tante yang tiga bulan lalu sudah melalui proses-yang-akan-saya-hadapi.
Jujur, saya jadi semakin nggak sabar untuk bertemu dengannya, untuk memberikan cinta kasih sayang. Heu.
Tirai langit yang menggelap mulai turun menyentuh horizon. Saya merasakan seperti ada yang menusuk nusuk di bagian perut, nyeri yang timbul tenggelam. Semakin malam semakin sakit dengan frekuensi semakin sering. Awalnya saya coba untuk mengabaikan dan berusaha tidur seperti biasa. Namun karena nyerinya tak tertahankan, saya sampai terbangun beberapa kali. Hingga tengah malam akhirnya saya menyerah dan tidak tidur sama sekali, hanya berbaring.
Bisa ditebak, keesokan harinya saya tepar.
Herannya, siang hari dipakai untuk aktifitas rasa nyeri itu tidak datang sama sekali.
Minus dua hari. Saya melakukan kegiatan sehari-hari dengan perasaan lebih tenang. Pun mulai menyiapkan kembali kekurangan barang yang harus dibawa.
Sesiangan sesorean tidak dihampiri rasa nyeri. Saya bisa menyapu, mengepel, membersihkan rumah seperti biasa meski tidak segesit berbulan yang lalu.
Umik menelepon hampir setiap hari, menanyakan kabar dan progres. Lalu umik berbagi cerita saat mengalami hal yang serupa dengan saya. Apa saja yang dilakukan ketika nyeri hebat datang dan makanan apa saja yang bisa menguatkan.
Sedari awal umik bilang, "sudah di Bogor aja biar gak riwa-riwi....cek nanti tulisan di aktanya Bogor juga hahahaha."
Ketika nenek-nenek dari umik dan abi diceritain tentang ini, sebenarnya mereka ga setuju karena kasihan sama saya. Anak lagi kepayahan kok malah disuruh jauh dari orangtuanya, yaopo seh!
Memang, selama sepuluh bulan ini saya berkali-kali mengalami masa kepayahan yang membuat saya ingiiin sekali loncat ke Sidoarjo. Rasanya tidak sanggup. Tapi alhamdulillah wa syukurillah, Allah titipkan seorang malaikat bernama Khairul Anwar yang dengan sangat-sangat sabar menemani dan mendukung saya. Tidak hanya soal materi tapi juga kasih sayang. Once I thought my father is the only one, but then I realized he is another one.
Langit sudah gelap sejak beberapa jam yang lalu, saya sudah berada di atas kasur bersiap untuk tidur.
Tidak sampai satu jam terlelap, saya terbangun kesakitan karena perut terasa melilit luar biasa. Saya berusaha menenangkan diri sambil menunggu sakitnya mereda dengan meringkukkan badan. Kalau sudah reda, saya tidur lagi. Tapi tak lama terbangun lagi. Begitu terus sampai menjelang subuh. Paginya? Tepar sudah pasti :)
Minus satu hari.
Selama hamil, saya merasakan tiga fase naik turunnya energi dengan begitu drastis. Trimester pertama energi 30%, lemas luar biasa. Mungkin karena hormon dalam tubuh sedang menyesuaikan dengan kehamilan. Trimester kedua energi 87%. Meski tidak se fit sebelum hamil, tapi jauh lebih baik dalam beraktifitas dan saya menjadi sangat menikmati makanan (alias rakus wkwk). Trimester tiga, turun lagi jadi 30%. Selain karena perut yang membesar, sayanya juga ikut membesar hahaha. Setiap kontrol ke dokter, pasti dibilang bbj (berat badan janin) kurang. Disarankan minum susu seliter dan enam butir telur tiap hari :)
Bayinya nambah dikit-dikit, emaknya nih makin-makin wahaha.
Jadilah saya kesusahan bawa diri sendiri. Mau ngelakuin banyak hal, ngos-ngosan duluan. Alhasil banyak istirahatnya :)
Saat itu hari Senin, tanggal 26 Juli 2020. Sepagian sesiangan beraktivitas seperti biasa.
Sorenya saya mengajar daring dari rumah. Ntahlah, antara merasa beruntung tapi juga sedih karena adanya pandemi sekarang ini. Satu sisi, namanya pandemi pasti membawa dampak sosial dan ekonomi yang tidak menyenangkan. Harus menjalankan protokol kesehatan, membatasi diri, waspada dan mikir-mikiiiir kalau mau kemana-mana.
Sisi baiknya, selama hamil hingga melahirkan saya jadi merasa 'punya banyak teman' untuk nggak kemana-mana hehe. Pun suami, meski kerjaan utamanya di rumah tapi sering juga ada events ke luar kota. Alhasil, bisa nemenin setiap hari 24 jam. Hal lain lagi, biasanya kan kalau udah mendekati due date pasti cuti melahirkan, bahkan sampai 6 bulan untuk menyusui eksklusif. Nah, karena pandemi, banyak kegiatan dilakukan daring, termasuk pekerjaan saya yaitu mengajar. Jadi gak perlu cuti melahirkan.
Setelah salat asar, saya menyiapkan kebutuhan mengajar daring seperti hape, charger, dan laptop.
Jam 4, mulai mengajar lewat panggilan video WA.
Ditengah-tengah menyampaikan materi, perut saya melilit sakit seperti dicengkram kuat-kuat sampai hilang konsentrasi sesaat. Saya berusaha mempertahankan raut wajah supaya terlihat baik-baik saja, yang berakhir seperti orang nahan pup wkwk. Untung muridnya ga sadar dan ga kelihatan, padahal kaki saya udah kelojotan.
Sepanjang satu setengah jam mengajar, beberapa kali rasa sakit itu datang. Yang mana setelahnya bikin tulang lemas karena seluruh tubuh menahan nyeri.
Saya hitung-hitung, sudah dua hari ini rasa nyeri yang timbul maasyaaAllaah sekali. Kayanya sih kontraksi, tapi suka ga ngeh interval dan frekuensinya.
Malamnya, ya seperti dua hari kemarin, saya gak bisa tidur. Akhirnya saya putuskan, besok setelah subuh ke klinik.
THE DAY
Biasanya, setiap hari, saya ikut suami salat subuh ke musala yang jaraknya lima menit jalan kaki. Sekalian banyakin jalan dan menikmati udara pagi yang segar. Sudah sebulan ini saya pindah tempat tinggal yang lumayan jauh dari keramaian, dekat sawah pula. Jadi gak perlu khawatir mengenai PSBB.
Nah karena dari malam sampai subuh sakitnya hilang timbul, hari itu tanggal 28 Juli 2020, saya memutuskan salat subuh di rumah aja. Khawatir ga kuat pas jalan.
Kelar subuhan, suami pulang dari masjid, kami bersiap ke klinik. Niatnya sih periksa aja. Kira-kira sudah siap belum nih? Apa harus nunggu lagi? Karena banyak yang cerita (dan kata perawatnya juga), disuruh pulang lagi karena belum waktunya. Akhirnya berangkatlah kami tanpa membawa perlengkapan apa-apa, baju seadanya.
Sampai di klinik, saya disuruh menunggu di luar karena ternyata ada pasien yang baru saja selesai ditolong. Sekitar jam 6, saya masuk ke ruangan untuk observasi. Ditanya mengenai kronologi nyeri perut yang terjadi beberapa hari ini, kemudian saya diminta berbaring di kasur dengan posisi mengangkang. Perawat memasukkan tangannya (tentunya menggunakan sarung tangan latex) ke kemaluan saya untuk mengetahui lebar bukaan.
Rasanya? Lega dan nikmat, karena nyeri yang 'menyundul-nyundul' tulang pubis sejak semalam hilang sesaat.
"Ooo ini udah bukaan 8. Sebentar ya teh, tunggu di luar dulu. Ruangan persalinannya disiapkan. Sudah bawa perlengkapan belum?"
Kami menggeleng.
"Yasudah, bapak ambil barang dulu. Tetehnya di sini aja, sambil jalan-jalan ya, supaya cepat bukaannya."
Kami mengangguk.
Kami ke luar ruangan. Rumput segera mengeluarkan motor dan balik ke rumah. Saya jalan-jalan di pelataran klinik. Mengamati langit yang semakin terang, dan lalu lalang meramai. Setengah jam, Rumput kembali dengan barang-barang, tapi pamit lagi mau beres-beres rumah. Jadilah saya di ruangan sendirian. Sebenarnya itu ruangan besar yang dipisah dua menggunakan tirai, dengan kasur lantai. Buat saya nyaman sekali, karena suasanya tidak hectic dan sangat homey.
Tak lama bidan datang dengan gym ball. Saya disuruh duduk di atasnya kemudian bergerak memutar, apabila nyeri datang, geraknya ke depan ke belakang. Beliau memegang kedua tangan saya, sambil sabar menjelaskan apa-apa tentang persalinan. Hampir satu jam, nyeri yang timbul konstan. Karena capek, istirahat dulu.
Rumput belum datang, saya berkabar dengan keluarga di Sidoarjo. Saya senang, meskipun tidak bisa hadir secara fisik, umik cerewet nanyain ini itu sambil cerita-cerita gimana pengalaman umik dulu melahirkan 5 anak.
Beberapa kali bidan mengecek keadaan saya. Dibilang, "udah terasa mau pup belum teh? Kalau udah bilang ya."
Sayangnya, sampai beberapa jam yang saya rasakan hanya nyeri tanpa ada rasa mau pup. Jadinya saya jalan bolak-balik ngelilingin ruangan-ruangan di klinik untuk mempercepat bukaan. Menjelang siang Rumput datang sambil membawa perlengkapan pribadi saya dan calon buah.
Sambil ngobrol, saya sambi dengan makan siang. Kata bu bidan, harus makan supaya nanti saat mengejan ada kekuatan. Sebenarnya saya ga begitu kepengen makan, mulut juga terasa susah mengunyah. Tapi laper dan harus nurut sama bidan. Lumayan juga untuk mengganti energi yang hilang saat braxton hicks datang dan pergi sejak pagi tadi.
Menjelang asar, Rumput ke musala untuk salat asar. Saya sendirian di bilik agak susah payah bersiap salat sambil duduk. Ntah, rasanya seperti ada yang menaruh beban sangat berat di perut bawah. Menunggu waktu yang tepat untuk keluar.
IT'S COMING!
Waktu menunjukkan jam 4 sore. Rumput telah kembali ke sisi saya, bu bidan dan beberapa asisten berseliweran mengurusi ini itu. Jadi ceritanya saat itu selain saya ada seorang ibu yang juga sedang menunggu persalinan anak ketiga nya. Ketubannya sudah pecah duluan, jadi beliau bahkan ga boleh turun dari kasur. Beda sama saya yang disuruh thawaf.
Baru saja mbak asisten nutup gorden bilik setelah nanyain keadaan saya, tiba-tiba bagian bawah tubuh saya mengkeret menahan nyeri yang rasanya benar-benar seperti ingin pup, nah nah I thought this is it!
Saya panggil mbak asisten dan kasih tau Rumput kayanya sekarang mau brojol deh. Segera saya dipapah menuju ruang bersalin, terseok-seok kayak mau ada yang jatuh, lalu naik ke atas ranjang bersalin. Bu bidan datang, lalu memeriksa bukaan, ternyata sudah 8. Karena belum sempurna, saya disuruh menunggu sebentar.
Wow amazing, the real contraction was not playing-playing. Buat saya sakitnya bukan sakit yang baru, tapi familiar banget! Rasanya pup itu udah di ujung, tapi ga boleh dikeluarin! Dan pup nya ga bisa didorong lagi ke usus! Dahlah kek mencret tapi ga nemu toilet.
Pardon my analogy ya, trying my best to explain the realest feeling at that time lol.
Kalo mau bandel rasanya pengen ngeden dikeluarin aja. Tapi saya takut banget perineumnya robek ga karuan. Ga kebayang ntar jaitannya kaya apa. Jadilah saya nurut nahan ngeden.
Kayak hampir mustahil nahan ngedennya, tapi alhamdulillah wa syukurillah Rumput pasrah saya tarik-cengkram kerah bajunya macem orang nantangin berantem. Sejak awal udah direncanain banget pingin direkam ceunah proses lahirannya untuk kenangan. Bukannya yang sinematik ala-ala gitu, justru mau ala dokumenter (ha?). Cuma dua bagian aja, nge shoot ekspresi saat saya ngeden sama proses keluarnya bayi dari jalan lahir.
Selama ini saya banyak lihat video perempuan-perempuan melahirkan dan itu amazing! Saya mau juga.
Tapi, haha, rencana tinggal rencana. Udah bawa kamera tapi di bilik tunggu yang tadi. Palinga cuma butuh 5 menit buat Rumput untuk ambil kamera dan ngatur posisi. But I couldn't let him go. Frekuensi nyerinya makin lama makin mepet jadi hitungan detik. Masih belum boleh ngeden, saya tahan dengan mengaitkan kaki erat-erat meremas lengan Rumput, menggertakkan gigi.
Bekas cengkraman.
He looked at me and said, "Ibung kuat.....yuk ditahan....ambil napas.....pelan-pelan...." I really wanted to let the pain go but his words encouraged me to clear my mind and listen to the midwives.
Beberapa menit kemudian bidan menyuruh saya untuk berubah posisi mengangkang. Dalam posisi ini, jauh lebih nyaman daripada tadi. Rumput di sebelah kiri memegangi saya, satu asisten di kanan, bu bidan dan dua asistennya lagi mengawal jalan lahir. Tarik napas panjang, kemudian mengejan kuat.
Saya bisa merasakan dorongan kuat kepala bayi menyundul jalan lahir. Beberapa kali tarik napas dan mengejan, namun ternyata kepala bayi belum terlihat. Saya merasa lemas karena ternyata mengejan memang menghabiskan tenaga. Berusaha mengumpulkan tenaga, bu bidan menghitung supaya saya mendorong lebih kuat.
Tetap saja nggak ada kemajuan.
Rumput terus mengiringi dengan kalimat penenang dalm lafadz Allah.
Akhirnya seorang asisten naik ke ranjang saya untuk membantu 'menurunkan' bayi. Perut bagian atas ditekan lalu diurut ke bawah beberapa kali, sampai saya merasakan ada benda besar yang mulai merosot di pintu jalan lahir. Dengan dorongan kuwuat, brojol.....kepalanya nongol. Dan satu lagi ngeden kecil, badannya merosot keluar dengan aman. Lega.
Alhamdulillah wa syukurillah, dengan begitu, diiringi murattal Mishary (bawaan klinik), lahirlah buah Rumput yang ber Bunga dengan sehat dan nyaman.
Kami menamainya, Saliha.
Saya mendengar tangisnya terputus-putus.
Segera asisten bidan mengeluarkan sisa-sisa cairan dari mulut hidung Saliha. Sedangkan bu bidan menyuntikkan induksi untuk mengeluarkan plasenta, dan memijit-mijit perut untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Alhamdulillah plasentanya keluar tanpa rasa sakit. Laluu dimulailah prosedur jahit menjahit. Ha ha ha.
Rasanya? Cekit-cekit, tapi gak kepikir sama sekali karena saya sudah terlalu lelah sejak pagi menahan kontraksi hingga mengejan sekian lama. Saya cuma bisa pasrah diem nge blank mengatur napas. I just won't to think at that time.
Sambil dijahit, Saliha si bayi merah ditelungkupkan di dada saya. Badannya kecil menggeliat lirih, saya genggam jemari mungil lembut tersebut. Terucap syukur berkali-kali dalam hati.
Tak lama Saliha diambil untuk dibersihkan kemudian dibedong, lalu diletakkan di boks sebelah ranjang. Matanya terbuka lebar sesekali berkedip, mungkin menyesuaikan dengan lampu ruangan. Tangisnya tidak lama, kemudian ia diam. Sedang saya merasa makin lemah. Oleh bidan saya disuruh istirahat, sebelumnya diberi minuman jus labu dan madu untuk memulihkan tenaga.
Baru setelah maghrib saya dipindahkan ke bilik sebelumnya. Berbaring makan camilan sambil merasai perut yang gak lagi berpenghuni. Jujur bagian bawah gak terasa nyeri, hanya khawatir kalau tiba-tiba pendarahan.
Termasuk bayi 'kecil'
Di tengah malam saya berusaha istirahat, Saliha ku menangis. Ternyata pup. Kemudian bu bidan membantu mengajari saya posisi menyusui yang benar. Alhamdulillah, Saliha kecil hebat sekali meneguk kolostrumnya. Malam itu di dekapan saya seorang bayi perempuan dengan berat 2.700 gram akhirnya tertidur tenang kembali.
:)
Kini, delapan bulan lebih beberapa hari kemudian. Bayi mungil bertumbuh-kembang menjadi buntalan gembil dengan berat 8 kilo plus plus, mulai melangkah di atas kedua kakinya, menghiasi hari-hari kami dengan tawa, tangis, dan celotehannya yang menggemaskan.
Sudah menjelma jadi buntalan buras ucul.
Tiada selain rasa syukur atas kekuatan, kemampuan, dan kesabaran suami yang luar biasa.
Terima kasih, wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.
Special thanks untuk tim Bidan Nur Aisyah, Bogor.