
Tiket kereta sudah di tangan, bahkan untuk pulang pergi. Namun qadarullah, pandemi covid-19 merebak. Mau tak mau tak bisa mudik, meski rindu begitu dalam terusik.
Bahkan sampai beberapa hari kuabaikan pesan dan panggilan video dari mereka. Khawatir, nantinya kubalas salam dengan isak tangis. Hehe, jadi teringat aku yang sedari dulu berkoar-koar ingin tinggal jauh karena ingin merasakan mudik.
Hingga hari ke 8 baru aku berani menjawab panggilan video. Riuh berpindah-pindah wajah yang tertampang di layar. Dari umik ke adik-adik, bercerita ini itu panjang lebar. Kemudian abi, menyapaku.
"Assalamualaikum Zahrah, apa kabar? Gimana, apa yang tersisa dari Ramadannya?"
Tertegun, tergagap. Seketika terpacu adrenalin menemukan jawaban yang 'bagus'.
"Yaa diistiqamahkan aja apa yang kemarin dilakuin waktu Ramadan bi."
Selesai panggilan, kembali kurenungkan pertanyaan abi juga jawabanku.
Memang biasanya begitu, kan? Begitu erat mengencangkan ibadah saat Ramadan, namun setelah takbir digemakan, "apa yang tersisa dari Ramadan-ku?"
Saya tersadar, beberapa hari kebelakang ibadah jadi lengah. Ramadan berlalu, berakhir juga susah payah mengejar ibadah ini itu.
Kenapa?
Apa karena iming-iming imbalan atau pahala tidak se wah saat Ramadan? Atau ya memang merasa penat karena sebulan penuh wajib memenuhi ritual; puasa, tadarus, dan tarawih? Ingin bersantai dari linglung nya bangun pagi buta untuk sahur dan mengejar 10 malam terakhir lailatul qadr?
Katanya setelah sebulan penuh berpuasa, kita menyambut Idulfitri, 'hari kemenangan'.
Nah, sudah menang nih. Apa hasil menang itu?
Akhirnya buat saya, ya berusaha istiqamah. Mencoba menyamakan pace ibadah seperti saat sedang bulan Ramadan. Urusan pahala akan sebesar atau se-tidak-besar pada bulan Ramadan, hak prerogatif Allah. Wallahua'lam bisshawwab.