
Sekiranya akhir September atau awal Oktober tahun 2018 lalu, kalau tidak salah ingat, beberapa minggu setelah wisuda. Saya mendapatkan pesan dari seorang teman baik. Bertanya kabar, lalu mengajukan pertanyaan yang juga berulang kali saya tanyakan pada diri sendiriㅡ"Nida sudah siap menikah?"
Apakah saya sudah siap menikah?
WHAT IS IN THE SOCIETY*
WHAT IS IN THE SOCIETY*
Berdasarkan pengamatan pribadi, dalam budaya masyarakat kita terdapat pola alur standar fase hidup yang sering dijadikan cermin banyak orangㅡterutama oleh generasi orangtua kita. Untuk laki-laki; lulus kuliah ➜ bekerja, karena kedepannya dia akan membangun keluarga dan menjadi kepala rumah tangga sehingga diharapkan bisa memenuhi kebutuhan finansial secara mandiri. Sedangkan perempuan; lulus kuliah ➜ bekerja atau menikah. Perempuan mendapat dua opsi karena tidak berada pada posisi wajib menafkahi.
Sebentar, santai dulu.
Pendapat di atas tidak semerta-merta semuanya. Saya memaparkan gambaran umumnya saja, bukan menggeneralisasi. Ada berbagai macam kasus yang sama sekali berbeda dengan analisis saya. Tapi tidak bisa kita pungkiri bahwa memang ada standar fase hidup seperti ini berkembang menjadi konstruksi sosial yang abu-abu dalam masyarakat kita.
Bisa setuju bisa tidak, bisa benar bisa salah.
*based on my personal observation
WHAT HAPPENED IN MY CIRCLE**
Saya perempuan, sudah lulus kuliah. Apa selanjutnya?
Berada di lingkungan ukhti-ukhti saat kuliah, topik menikah seringkali dibahas. Apalagi dikala mengerjakan skripsi sampai wisuda, kemudian beberapa teman akhirnya menikah. Tidak hanya dikalangan ukhti-ukhti sih, bahkan semenjak semester 5 banyak teman kuliah saya mulai memasang status WA "semester lima makin beratt, nikah aja deh"ㅡyang sama sekali bukan solusi, tentunya.
𝑩𝒂𝒄𝒂 𝒋𝒖𝒈𝒂: 𝑷𝒊𝒏𝒂𝒏𝒈 𝑨𝒌𝒖 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑩𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂
Begini, disclaim dulu. Saya mau meluruskan sesuatu. Mungkin banyak yang menganggap para ukhti-ukhti atau ikhwan-ikhwan di luar sana pikirannya melulu tentang menikah. Bukan seperti itu. Yang terjadi di lingkungan saya adalah; menurut mereka pernikahan merupakan ibadah besar, separuh agama, penyempurna agama, bukan suatu hubungan main-main. Memilih pasangan bukan hanya karena cocok dan cinta, tapi juga agama, masa depan pribadi, kualitas keturunan, dan kehidupan setelah kematian, akhirat. Karena hal tersebut disadari betul kekrusialan dan kesakralannya, hingga seakan-akan hanya berkutat pada masalah itu saja.
Ya karena mereka meletakkan pernikahan sebagai salah satu tujuan utama hidup.
Ya karena mereka meletakkan pernikahan sebagai salah satu tujuan utama hidup.
Contohnya dalam lingkaran pertemanan kecil saya; D ingin kembali ke daerah asalnya di Flores untuk berkontribusi dalam pendidikan, I juga sama punya visi luar biasa tentang pendidikan generasi mendatang, N punya niat teguh melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya ke luar negeri, L yang semakin aktif dengan kegiatan sosial di daerahnya. Kalau kami berkumpul, ya bicarain cita-cita ya menikah.
**based on my personal experience
**based on my personal experience
WHAT HAPPENED IN MY FAMILY
Sebenar-benarnya, tidak ada yang lain selain melanjutkan kuliah. Karena dari awal sudah diwanti-wanti orangtua, supaya anaknya mencapai jenjang pendidikan lebih dari orangtuanya. Jadilah selepas wisuda saya tidak keburu mencari pekerjaan melainkan informasi mengenai program magister plus beasiswa, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ditambah memang orangtua tidak pernah menyuruh untuk bekerja. Alasan mereka, "umik dan abi pingin kamu S2, dan selama umik dan abi mampu, kebutuhanmu urusannya umik sama abi."
Menurut saya, pada saat itu, menikah adalah sesuatu yang tidak perlu diusahakan se ngoyo untuk lanjut kuliah atau bekerja. Urusannya fokus kepada Allah. Berbeda dengan lanjut kuliah atau bekerja. Ada dokumen yang harus dipersiapkan, memperlajari materi-materi 'duniawi', intinya dicapai dengan aktifitas 'fisik'. Eh gimana sih jelasinnya?
Menurut saya, pada saat itu, menikah adalah sesuatu yang tidak perlu diusahakan se ngoyo untuk lanjut kuliah atau bekerja. Urusannya fokus kepada Allah. Berbeda dengan lanjut kuliah atau bekerja. Ada dokumen yang harus dipersiapkan, memperlajari materi-materi 'duniawi', intinya dicapai dengan aktifitas 'fisik'. Eh gimana sih jelasinnya?
Oleh karena itu, ketika mendapat pertanyaan, "Nida sudah siap menikah?", rasanya awang-awangan.
Sedari SMP, saya sudah diajak umik berdiskusi masalah rumah tangga. Baik rumah tangga umik dan abi, keluarga besar, tetangga, dan teman-temannya umik. Bukan, bukan ghibah tapi umik menunjukkan fakta lapangan pernikahan yang terjadi di sekeliling. Mengenai pentingnya komunikasi, pembagian tugas domestik, pemenuhan kebutuhan dasar, peran pendidikan dalam rumah tangga, problematika antar ipar atau dengan mertua, urusan keturunan maupun anak angkat, harta warisan, dan lain-lain. Belum lagi pihak ketiga.
Banyak pahitnya daripada manisnya.
Ditambah banyaknya orang-orang berkisah tentang rumah tangga mereka di sosial media. Ntah kenapa justru lebih sering menemukan yang bermasalah daripada yang baik-baik saja. Sampai-sampai saya muak dengan kisah percintaan laki-laki dan perempuan pada cerita-cerita fiksi atau drama Korea. Euh saya gak kuat nontonnya, it's just drama! Maaf kalau terdengar offensive.
Nah nah. Tapi begini, semenjak kuliah saya kerap bertanya pada umik; "sebenarnya umik pingin aku jadi apa sih?" dan jawabannya selalu; "menikah, dapat jodoh yang solih, menghargai, dan sayang kamu. Perempuan itu setinggi-tingginya berkarir utamanya ya jadi istri dan ibu yang salihah."
Then I rolled my eyes, duh.
Mungkin bagi sebagian pemuda-pemudi di luar sana, pernyataan di atas terdengar kolot, nggak mengikuti perkembangan zaman, dan nggak emansipasi wanita kesetaraan gender (+feminisme((?))). Namun nyatanya umik adalah ibu rumah tangga, istri, ibu, sekaligus seorang wanita yang aktif berkarir di bidangnya (di luar rumah). Jadi saya tidak protes ketika umik berkata begitu, karena nyatanya beliau memberikan saya contoh realistis bahwa perempuan bisa menjadi ibu dan istri yang baik di rumah SEKALIGUS wanita karir yang berguna bagi masyarakat di luar rumah.
Jujur, saya bukan penganut aliran menikah adalah segala-galanya, jalan satu-satunya masuk surga. Semua orang punya kapasitas dan peran masing-masing dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, beragama, berkeluarga, dan mencapai tujuan akhir. Memang kedudukan pernikahan dalam Islam sangat mulia, tapi ada yang membuatnya menjadi haram, sunnah, dan wajib. Tidak semua orang sampai pada tahap wajib, bahkan bisa jadi haram.
Bila pun sudah sampai tahap wajib tapi Allah belum mengulurkan jodoh, apa berarti menjadi perempuan atau laki-laki tanpa surga? Ada banyak hal baik dan bermanfaat di luar sana yang bisa dilakukan sembari menunggu.
Jadi saya nggak ambil pusing ketika umik selalu mengungkapkan doa; kepengen saya menikah.
WHAT WAS ON MY MIND
𝑩𝒂𝒄𝒂 𝒋𝒖𝒈𝒂: 𝑩𝒂𝒈𝒂𝒊𝒎𝒂𝒏𝒂 𝑹𝒂𝒔𝒂𝒏𝒚𝒂 𝑴𝒆𝒏𝒊𝒌𝒂𝒉?
Nah nah. Tapi begini, semenjak kuliah saya kerap bertanya pada umik; "sebenarnya umik pingin aku jadi apa sih?" dan jawabannya selalu; "menikah, dapat jodoh yang solih, menghargai, dan sayang kamu. Perempuan itu setinggi-tingginya berkarir utamanya ya jadi istri dan ibu yang salihah."
Then I rolled my eyes, duh.
Mungkin bagi sebagian pemuda-pemudi di luar sana, pernyataan di atas terdengar kolot, nggak mengikuti perkembangan zaman, dan nggak emansipasi wanita kesetaraan gender (+feminisme((?))). Namun nyatanya umik adalah ibu rumah tangga, istri, ibu, sekaligus seorang wanita yang aktif berkarir di bidangnya (di luar rumah). Jadi saya tidak protes ketika umik berkata begitu, karena nyatanya beliau memberikan saya contoh realistis bahwa perempuan bisa menjadi ibu dan istri yang baik di rumah SEKALIGUS wanita karir yang berguna bagi masyarakat di luar rumah.
Jujur, saya bukan penganut aliran menikah adalah segala-galanya, jalan satu-satunya masuk surga. Semua orang punya kapasitas dan peran masing-masing dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, beragama, berkeluarga, dan mencapai tujuan akhir. Memang kedudukan pernikahan dalam Islam sangat mulia, tapi ada yang membuatnya menjadi haram, sunnah, dan wajib. Tidak semua orang sampai pada tahap wajib, bahkan bisa jadi haram.
Bila pun sudah sampai tahap wajib tapi Allah belum mengulurkan jodoh, apa berarti menjadi perempuan atau laki-laki tanpa surga? Ada banyak hal baik dan bermanfaat di luar sana yang bisa dilakukan sembari menunggu.
Jadi saya nggak ambil pusing ketika umik selalu mengungkapkan doa; kepengen saya menikah.
WHAT WAS ON MY MIND
Saya itu orangnya bisa dibilang lumayan overthinking. Hampir segalanya dipikir sampai pusing. Plus-minusya, rugi-untungnya, rencana sampingan B-Z apabila A gagal, bagaimana kalau begini-begitu, dan lain sebagainya. Jadi tentang menikah saya nggak bisa bawa santai, selalu terngiang-ngiang pahitnya kisah menikah. Hingga pernah saya berada di suatu masa, memutuskan untuk lebih baik tidak menikah. Karena bila yang dicari cinta, saya cinta diri sendiri kok. Apabila yang dicari kasih sayang, saya sudah mendapatkannya dari orangtua kok. Apabila kebahagiaan, saya bisa bikin bahagia diri sendiri kok.
Saat teman-teman seumuran mulai ada yang menikah. Tentu saya jadi kena pertanyaan, "kapan nyusul?"ㅡI was only 21/22 yo back then. Saya nggak pernah terganggu karena; percaya bahwa Allah tahu apa yang dibutuhkan, kapan, siapa, di mana, apa, dan bagaimana yang terbaik untuk hamba-Nya ( ( tentu setelah melewati usaha dan doa ) ). Sering sekali ketika saya sedang berkendara sendiri sambil melamun mencamkan dalam hati; "kalau Engkau rasa aku belum pantas nggak papa ya Allah, ikhlas. Nanti aja ya Allah kalau Engkau anggap aku sudah siap dan pantas."
Saat teman-teman seumuran mulai ada yang menikah. Tentu saya jadi kena pertanyaan, "kapan nyusul?"ㅡI was only 21/22 yo back then. Saya nggak pernah terganggu karena; percaya bahwa Allah tahu apa yang dibutuhkan, kapan, siapa, di mana, apa, dan bagaimana yang terbaik untuk hamba-Nya ( ( tentu setelah melewati usaha dan doa ) ). Sering sekali ketika saya sedang berkendara sendiri sambil melamun mencamkan dalam hati; "kalau Engkau rasa aku belum pantas nggak papa ya Allah, ikhlas. Nanti aja ya Allah kalau Engkau anggap aku sudah siap dan pantas."
Tapi justru semua pikiran yang saya anggap idealis dan penuh logika itu, membawa saya pada titik lelah, pasrah, let it flow.
Kira-kira sejak SMA, saya menanamkan sebuah mindset "I'm not like other girls," dimana cewek itu lekat dengan stereotipe mengedepankan perasaan, irasional, gak pake logika. It's scary for me, back then. Saya nggak mau hidup seperti itu, mengerikan. Saya lebih suka dan 'berusaha' menjalani hidup dengan stereotipe laki-laki yang mengedepankan logika, it sounds cool.
Dan ya, jujur saja, pada saat itu saya merasa lebih keren daripada cewek yang 'menye-menye'. Baru tahu kemudian, bahwa hal tersebut dinamakan internalized misogyny atau internalized sexism yaitu memberlakukan/mengharuskan perilaku seksis seperti apa yang kita pelajari kepada orang lain dari gender yang sama. Bukan hal baik.
Kira-kira sejak SMA, saya menanamkan sebuah mindset "I'm not like other girls," dimana cewek itu lekat dengan stereotipe mengedepankan perasaan, irasional, gak pake logika. It's scary for me, back then. Saya nggak mau hidup seperti itu, mengerikan. Saya lebih suka dan 'berusaha' menjalani hidup dengan stereotipe laki-laki yang mengedepankan logika, it sounds cool.
Dan ya, jujur saja, pada saat itu saya merasa lebih keren daripada cewek yang 'menye-menye'. Baru tahu kemudian, bahwa hal tersebut dinamakan internalized misogyny atau internalized sexism yaitu memberlakukan/mengharuskan perilaku seksis seperti apa yang kita pelajari kepada orang lain dari gender yang sama. Bukan hal baik.
WHAT ACTUALLY WAS HAPPENED TO ME
Nah, pertanyaan, "Nida siap menikah?" datang pada saat saya berada di titik lelah, pasrah, dan let it flow tersebut yang disebabkan oleh dua hal;
SATU, pusing mikirin pilihan jurusan S2. Saya lulusan jurusan Bahasa dan Sastra Arab, kenyataannya tidak cakap berbahasa Arab. IPK saya bagus loh, alhamdulillah, summa cum laude. Tapi rasanya kaya ga guna, malu, dan miris, dan ga guna pheww. Saya pingin ambil jurusan yang linier, tapi karena nggak mau belum bisa bahasa Arab, jadi berusaha mengakali mencari jurusan yang masih berhubungan.......tapi nggak ada bahasa Arabnya *lah*.
Benerlah emang, nilai IPK bisa berpengaruh tapi ga semerta-merta karena skill juga penting. Teori bagus, aplikasi ga jalan. Ya sudah.
𝑩𝒂𝒄𝒂 𝒋𝒖𝒈𝒂: 𝑺𝒆𝒕𝒊𝒂𝒑 𝑩𝒖𝒍𝒂𝒏, 𝑻𝒂𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍 26
Benerlah emang, nilai IPK bisa berpengaruh tapi ga semerta-merta karena skill juga penting. Teori bagus, aplikasi ga jalan. Ya sudah.
DUA, beberapa minggu setelah wisuda saya mendapat sebuah pesan dari kunkruu di Thailand yang waktu itu bertanggungjawab atas kegiatan PKL saya di sana. Beliau menjelaskan bahwa yayasan akan mendirikan jenjang sekolah dasar. Butuh guru. And I was offered, employed as an English teacher.
It's crazyㅡat least for me.
Why crazy?
Di luar negeri. Nah, bukannya saya glorifikasi luar negeri lebih bagus daripada dalam negeri, tapi saya itu punya ketertarikan sangat-sangat besar terhadap lingkungan baru. Dan tentu saja dengan pergi ke Thailand saya akan mendapatkan semua itu. Bahasa baru, lingkungan baru, orang-orang baru, makanan baru, budaya baru! Saya ingin berpetualang, ke luar dari zona nyaman, berjuang hidup mandiri di atas kaki dan finansial yang mandiri, menemukan jati diri :"
Ngajar bahasa Inggris. Ya Allah, umik, abi, ampuni aku huhu. Saya lebih mumpuni (dan suka) bahasa Inggris daripada bahasa Arab T_T
Nggak diminta dokumen apapun. Saya tanyakan untuk meyakinkan, dokumen apa saja yang harus saya persiapkan? And he said nothing (ya tentu saja di samping dokumen-dokumen untuk kelegalan pergi dan bekerja di Thailand). Ya jadi long story short, dulu saya dikirim ngajar ke Thailand 'resmi'nya sebagai guru bahasa Arab, tapi nyatanya di lapangan malah ngajar kelas bahasa Inggris. And once he said my English is good. Dan emang private school sih, jadi tidak terikat dengan ribetnya birokrasi pemerintah.
Tapi coba tebak :))))))))))))))))))) abi umik ga ngebolehin dong :" hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh. Will talk about the depression because of this later :"
They said, "belum ada mahramnya, kalau udah punya suami terserah kamu sama suamimu gimana. Tapi sekarang kamu masih tanggungjawabnya abi, abi belum bisa."
That's.
Tapi coba tebak :))))))))))))))))))) abi umik ga ngebolehin dong :" hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh. Will talk about the depression because of this later :"
They said, "belum ada mahramnya, kalau udah punya suami terserah kamu sama suamimu gimana. Tapi sekarang kamu masih tanggungjawabnya abi, abi belum bisa."
That's.
THEN,
So yeah, those two things made me step back and gave up on my life for a moment. Felt like I lost the purpose of life. I kept thinking all day long, everyday. Untuk lanjut kuliah masih nggak jelas, kerja di Thailand yang sudah jelas, nggak dibolehin. Harus gimana rencana selanjutnya?
It's not easy for me tbh at that time, was so hard. I suffered, even I lost my faith hhh.
Dan pada saat-saat tersebut, pertanyaan siap menikah diajukan kepada saya. So I said;
It's not easy for me tbh at that time, was so hard. I suffered, even I lost my faith hhh.
Dan pada saat-saat tersebut, pertanyaan siap menikah diajukan kepada saya. So I said;
"kalau terus dipikirin, mungkin aku gak bakal siap selamanya. InsyaaAllah aku siap."
Mencoba memberi kesempatan kepada diri sendiri dan keadaan, saya serahkan pada Allah.
Mungkin, ini waktu yang tepat? Mungkin, memang ini rencana Allah untuk hidup saya? Pelan-pelan saya ngobrol lagi dengan diri sendiri. Saya mengamini bahwa; man proposes, God disposes. Kalau Allah 'menggerakkan semesta' berbalik dari apapun yang telah saya rencanakan, bisa apa?
Mungkin, ini waktu yang tepat? Mungkin, memang ini rencana Allah untuk hidup saya? Pelan-pelan saya ngobrol lagi dengan diri sendiri. Saya mengamini bahwa; man proposes, God disposes. Kalau Allah 'menggerakkan semesta' berbalik dari apapun yang telah saya rencanakan, bisa apa?