
Bagaimana rasanya menikah?
Sebuah pertanyaan yang beberapa kali ditanyakan oleh teman-teman.....bahkan oleh saya sendiri semenjak sehari, sebulan, hingga berlima bulan dari beberapa teman.
Sejujurnya, saya agak ewuh pakewuh menuliskan tentang pernikahan. Apalah, baru juga menikah lima bulan, sosoan, masih bau kencur. Hanya, kembali lagi ke tujuan saya menulisã…¡terutama di blog ini.
Menulis untuk mengabadikan momen, seperti memotret, hanya saja dengan kata-kata. Kemudian tidak tahu kapan dan bagaimana tulisan kita menemukan pembacanya yang tepat. Kiranya ada hal positif yang bisa dipetik dan hal negatif yang bisa dijadikan pelajaran, setidaknya ada manfaat Allah memberikan saya kemampuan untuk berpikirã…¡dan menulis.
Jadi, inilah tulisan pertama saya tentang pernikahan.
Rasanya menikah? Memiliki seorang teman sangat dekat untuk berbagi apapun, secara zahir maupun batin. Bagaimana tidak, kini tidak lagi saya sebagai putri umik dan abi atau dia sebagai anak lelaki mamah. Tetapi ada status baru; saya sebagai istrinya, dan dia sebagai suami saya.
*ohiya, mohon kesadarannya ya, bahwa setiap pasangan punya ceritanya masing-masing. Boleh dibandingkan tapi jangan dibanding-bandingkan :) terimakasih!
Canggung luar biasa
Kami berawal dari orang asing untuk satu sama lain. Memang, sudah pernah berkenalan lewat blog, saling meninggalkan komentar, terhubung di berbagai media sosialã…¡hanya sebatas itu. Bukannya kami adalah teman blog yang menjadi teman dekat hingga saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Sekadar berkenalan sambil lalu.
Saya tahu dia, tapi tidak mengenalnya.
Lalu, bagaimana bisa akhirnya berakhir di pelaminan? Melalui yang orang-orang katakan sebagai taaruf.
Pertemuan pertama saat dia datang ke rumah menemui umik dan abi. Kali kedua setelah ijab qabul, canggung luar biasa ketika itu dia datang ke ruang tamu bersama abi menemui saya yang didampingi mamah (ibunya) dan umik. Kemudian menyematkan cincin, bersalaman, lalu duduk berdampingan untuk tanda tangan buku nikah. Selanjutnya secara paksa disuruh masuk ke dalam kamar oleh umikã…¡memberi kami kesempatan berbincang hanya berdua, untuk pertama kalinya.
Extremely awkward.
Tiba-tiba dalam sehari dan seterusnya ada seorang lelaki yang akan membersamai hidup saya.
Khawatir akan banyak hal
Minggu-minggu awal menikah, kalau diingat-ingat lagi, saya pusing sampai bingung bagaimana mengungkapkan. Biasanya, setelah menikah orang akan bahagia karena sah bersatu secara agama dan negara dengan restu keluarga. Tapi, terlalu kepikiran atau overthinking took over the moment where I should be happy.
Beberapa bulan sebelum menikah, akumulasi asumsi yang terus bergemelut di dalam kepala mengantarkan saya pada satu kesimpulan: akan lebih baik bila saya tidak menikah.
Saya mulai diajak umik ngobrol dunia orang dewasa dan pernikahan sejak SMP. Kami menganalisa kehidupan pernikahan dari ranah pasangan suami-istri, mertua, ipar, tetangga, bahkan harta warisan. Alih-alih kisah bahagia, saya jadi banyak tahu perjuangan berdarah-darah yang dilakukan pihak suami, istri, ataupun mertua untuk menyelamatkan sebuah pernikahanã…¡yang buat saya adalah, penyiksaan batin tiada akhir. Kalau sudah tidak cocok, ada sakit hati, mengapa harus dipaksakan untuk bersama sih?
Cerita bahagia antar dua sejoli lebih banyak saya dapatkan lewat cerita atau drama Korea daripada kejadian-kejadian nyata di sekeliling saya. Sampai pada satu fase saya sudah tidak lagi menikmati nonton drama romantis karena merasa muakã…¡it's just drama.
Dan kepada Rumput, saya utarakan itu semua. Saya merasa dia harus tahu apa yang saya pikirkanã…¡khususnya mengenai hal ini. Kemudian perihal serba-serbi pernikahan; anak, gaji, uang, pekerjaan, pekerjaan rumah, akhirat, ibadah, tempat tinggal, manajemen waktu, tugas istri dan suami dalam islam, mertua, orangtua, impian gila saya dan lain-lain-lain-lain.
Saya tidak ingin pura-pura baik-baik saja di depannya. It's okay not to be okay, right?
And he said, "aku belum berpikir ke arah sana sedalam itu sebelumnya, kamu bikin aku jadi mikir.....tapi itu kejauhan, dan itu semua masih asumsi. Coba nikmati apa yang ada sekarang. Dibikin sederhana gitu loh....."
Suami istri, saling melengkapi. Terhadap kalimat tersebut saya setuju. Ketika saya sudah mulai tenggelam dalam pusaran pikiran yang saya buat sendiri, dia yang akan menarik saya, membantu saya mengurai benang kusut segala kemelut yang dibikin-bikin sendiri.
Berbagi s-e-m-u-a-n-y-a
Melabeli diri sendiri sebagai ambivert, yaitu seseorang yang berada ditengah-tengah introvert dan ambivert, saya tidak punya masalah bergaul dengan orang baru ataupun tampil di muka umum. Saya berteman, bersahabat, dan berkenalan dengan banyak orang. Tapi disisi lain, secara natural mengotak-ngotakkan lingkaran pertemanan. Dengan lingkaran A, bicara tentang A. Lingkaran B, tentang B. Saya tidak bisa menceritakan semua aspek kepada A dan B.
Bukan berarti menjadi orang yang berbeda di tiap lingkaran pertemanan or being fake. Lebih kepada menempatkan diri sesuai dengan porsi.
Pun dengan orangtua. Saya sangat dekat dan manja kepada mereka. Hampir semua hal saya ceritakan, terutama kepada umik. Saya tidak punya rasa sungkan untuk mengungkapkan perasaan dan pendapat. Memang sedari kecil kami dibiasakan dan dididik untuk terbuka dengan anggota keluarga yang lain. Umik bilang, "bilang sama umik abi, karena kamu masih tanggung jawab umik sama abi. Kalau ada apa-apa, umik sama abi juga yang kena."
Tapi sebenarnya ada beberapa hal yang tidak saya sampaikan ke umikã…¡alih-alih ke Rumput. Bukannya saya tidak percaya ke umik, hanya saja saya merasa ada beberapa fenomena zaman sekarang.........hanya millennials yang paham.
Kepada Rumput saya meruahkan segalanya. Segala yang sebelumnya saya kotak-kotakkan, tidak dibagi dengan semua orang. A hingga Z. Hal paling cringey sampai isu-isu fenomenal kemanusiaan yang sedang hangat diperbincangkan oleh anak muda termasuk saya, yang oleh kalangan orangtua mungkin isu-isu seperti ini tidak masuk akal dan tabu.
Saya pernah membaca sebuah tulisan, mengenai tutup rapat masa lalumu yang buruk kepada pasangan, karena dengannya kamu menjelang masa depan. Tapi buat saya pribadi, mengetahui masa lalu pasangan adalah salah satu cara untuk mengenal lebih dalam. Apalagi bagi kami yang tidak pernah kenal dekat sebelumnya.
Benar, bahwa ketika Allaah sudah menutup aibmu, maka janganlah kamu membukanya di depan manusia lain. Dalam hal ini, ya bukannya kami semata-mata saling buka aib, melainkan berkisah tentang apa saja yang pernah dilakukan di masa lalu supaya muncul pengertian daaan mengambil pelajaran dari itu semua.
Kompromi Tiada Henti
Kompromi merupakan sebuah upaya atau bentuk komunikasi untuk mencapai kesepakatan antara dua pihak yang berbeda pendapat (berselisih paham). Bayangkan bila harus berkompromi terus-menerus sepanjang hidupmu? Terdengar mengerikan? Iya, bila menikah tanpa niat ibadah, kasih sayang, sabar, dan keyakinan badai....pasti berlalu.
Saya pernah membaca tulisan mbak Anya, founder sahabatjiwa.org, "kebanyakan kasus perceraian disebabkan karena mereka sudah tidak mau lagi berkompromi."
Lantas, aku bertanya kepada umik dan abi (di tempat dan waktu terpisah), "kalo umik/abi nyebelin, bikin sakit hati, perbuatannya ga sesuai dengan yang kita inginkan, ga bisa dinasehati untuk kebaikan.....kenapa masih bertahan? Toh cerai diperbolehkan."
Entah mereka telepati atau bagaimana, jawabannya sama: diniatkan ibadah. "Ibadah itu ga ada yang muluss cuma enak doang, pasti disitu ada usaha. Entah itu melawan malas bangun tahajud, nahan lapar, capek mikir belajar, kehujanan ke tempat kerja, rela berbagi rizki untuk bersedekah, jalan panas-panas ke masjid, apalagi menikah yang merupakan ibadah seumur hidup. Ujiannya lebih besar dan banyak."
Lagian, misalnya nih ada tindakan pasanganmu yang tidak sesuai keinginan; dia A, kamu maunya B. Kamu sudah tahu bahwa selama ini dia A. Lalu kamu mau ubah dia menjadi B dalam hitungan hari? Bulan? Tentuuuuuu tidak semudah itu. Butuh kesabaran, nah sabarmu sampai mana?
Mudah sekali menuliskan hal-hal di atas. Pada prakteknya? Susah, makan hati, ada tangis, amarah, putus asa, kecewa, menyerah. Akhirnya balik lagi ke Allah.....niat ibadah.
Dicintai Mencintai
Kayaknya daritadi hal-hal yang bikin mumet. Di akhir bagian ini, it's about love and being loved.
Alhamdulillah, hidup saya diselimuti cinta dan kasih sayang sejak lahir oleh orangtua, keluarga, saudara, teman-teman. Dulunya saya berpikir, cinta dari mereka sudah cukup. Baru saya rasakan, it's slightly definitely differently different.
Cinta kasih orangtua kepada anak dan sebaliknya adalah definisi unconditional love. Karena 1) kita tidak tahu akan menjadi seperti apa anak kita, tetap dialah anak kita 2) kita tidak bisa memilih lahir dari orangtua yang seperti apa, jadi apa adanya dan adanya apa mereka ya diterima.
Berbeda dengan cinta kasih kepada pasangan. Dengan kesadaran penuh kita memilih dia untuk dikasihi dan dicintai, yang diharapkan juga akan mengasihi dan mencintai kita.
Saya tidak menganut berpacaran sebelum menikah sebagai sarana mengenal pasangan lebih dekat sehingga ga kaget-kaget banget waktu udah nikah.
Well, justru aku ingin 'kejutan'. Saya ingin merasakan semua hal romantis (ew?), untuk pertama kalinya, dengan seseorang yang sudah sah untuk aku cintai dan mencintai saya secara halal. Deep talk, holding hands, kissing, hugging, anything lah you name it. Kami yang berawal dari orang asing, kemudian menjadi pasangan......oh this feeling is glorious. Ada letupan perasaan dan senyum malu-malu, grogi keringat dingin, dan getar nyaman yang menyeruak dalam dada.
Tentu saja sebelum menikah saya pernah bersimpati kepada beberapa laki-laki. Tapi sekuat tenaga saya halangi dan bentengi, usir jauh-jauh perasaan itu. Saya tidak ingin telena oleh perasaan tanpa kepastian. Namun kini, semua teruahkan padanya.
Menulis untuk mengabadikan momen, seperti memotret, hanya saja dengan kata-kata. Kemudian tidak tahu kapan dan bagaimana tulisan kita menemukan pembacanya yang tepat. Kiranya ada hal positif yang bisa dipetik dan hal negatif yang bisa dijadikan pelajaran, setidaknya ada manfaat Allah memberikan saya kemampuan untuk berpikirã…¡dan menulis.
Jadi, inilah tulisan pertama saya tentang pernikahan.
Rasanya menikah? Memiliki seorang teman sangat dekat untuk berbagi apapun, secara zahir maupun batin. Bagaimana tidak, kini tidak lagi saya sebagai putri umik dan abi atau dia sebagai anak lelaki mamah. Tetapi ada status baru; saya sebagai istrinya, dan dia sebagai suami saya.
*ohiya, mohon kesadarannya ya, bahwa setiap pasangan punya ceritanya masing-masing. Boleh dibandingkan tapi jangan dibanding-bandingkan :) terimakasih!
Canggung luar biasa
Kami berawal dari orang asing untuk satu sama lain. Memang, sudah pernah berkenalan lewat blog, saling meninggalkan komentar, terhubung di berbagai media sosialã…¡hanya sebatas itu. Bukannya kami adalah teman blog yang menjadi teman dekat hingga saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Sekadar berkenalan sambil lalu.
Saya tahu dia, tapi tidak mengenalnya.
Lalu, bagaimana bisa akhirnya berakhir di pelaminan? Melalui yang orang-orang katakan sebagai taaruf.
Pertemuan pertama saat dia datang ke rumah menemui umik dan abi. Kali kedua setelah ijab qabul, canggung luar biasa ketika itu dia datang ke ruang tamu bersama abi menemui saya yang didampingi mamah (ibunya) dan umik. Kemudian menyematkan cincin, bersalaman, lalu duduk berdampingan untuk tanda tangan buku nikah. Selanjutnya secara paksa disuruh masuk ke dalam kamar oleh umikã…¡memberi kami kesempatan berbincang hanya berdua, untuk pertama kalinya.
Extremely awkward.
Tiba-tiba dalam sehari dan seterusnya ada seorang lelaki yang akan membersamai hidup saya.
Khawatir akan banyak hal
Minggu-minggu awal menikah, kalau diingat-ingat lagi, saya pusing sampai bingung bagaimana mengungkapkan. Biasanya, setelah menikah orang akan bahagia karena sah bersatu secara agama dan negara dengan restu keluarga. Tapi, terlalu kepikiran atau overthinking took over the moment where I should be happy.
Beberapa bulan sebelum menikah, akumulasi asumsi yang terus bergemelut di dalam kepala mengantarkan saya pada satu kesimpulan: akan lebih baik bila saya tidak menikah.
Saya mulai diajak umik ngobrol dunia orang dewasa dan pernikahan sejak SMP. Kami menganalisa kehidupan pernikahan dari ranah pasangan suami-istri, mertua, ipar, tetangga, bahkan harta warisan. Alih-alih kisah bahagia, saya jadi banyak tahu perjuangan berdarah-darah yang dilakukan pihak suami, istri, ataupun mertua untuk menyelamatkan sebuah pernikahanã…¡yang buat saya adalah, penyiksaan batin tiada akhir. Kalau sudah tidak cocok, ada sakit hati, mengapa harus dipaksakan untuk bersama sih?
Cerita bahagia antar dua sejoli lebih banyak saya dapatkan lewat cerita atau drama Korea daripada kejadian-kejadian nyata di sekeliling saya. Sampai pada satu fase saya sudah tidak lagi menikmati nonton drama romantis karena merasa muakã…¡it's just drama.
Dan kepada Rumput, saya utarakan itu semua. Saya merasa dia harus tahu apa yang saya pikirkanã…¡khususnya mengenai hal ini. Kemudian perihal serba-serbi pernikahan; anak, gaji, uang, pekerjaan, pekerjaan rumah, akhirat, ibadah, tempat tinggal, manajemen waktu, tugas istri dan suami dalam islam, mertua, orangtua, impian gila saya dan lain-lain-lain-lain.
Saya tidak ingin pura-pura baik-baik saja di depannya. It's okay not to be okay, right?
And he said, "aku belum berpikir ke arah sana sedalam itu sebelumnya, kamu bikin aku jadi mikir.....tapi itu kejauhan, dan itu semua masih asumsi. Coba nikmati apa yang ada sekarang. Dibikin sederhana gitu loh....."
Suami istri, saling melengkapi. Terhadap kalimat tersebut saya setuju. Ketika saya sudah mulai tenggelam dalam pusaran pikiran yang saya buat sendiri, dia yang akan menarik saya, membantu saya mengurai benang kusut segala kemelut yang dibikin-bikin sendiri.
Berbagi s-e-m-u-a-n-y-a
Melabeli diri sendiri sebagai ambivert, yaitu seseorang yang berada ditengah-tengah introvert dan ambivert, saya tidak punya masalah bergaul dengan orang baru ataupun tampil di muka umum. Saya berteman, bersahabat, dan berkenalan dengan banyak orang. Tapi disisi lain, secara natural mengotak-ngotakkan lingkaran pertemanan. Dengan lingkaran A, bicara tentang A. Lingkaran B, tentang B. Saya tidak bisa menceritakan semua aspek kepada A dan B.
Bukan berarti menjadi orang yang berbeda di tiap lingkaran pertemanan or being fake. Lebih kepada menempatkan diri sesuai dengan porsi.
Pun dengan orangtua. Saya sangat dekat dan manja kepada mereka. Hampir semua hal saya ceritakan, terutama kepada umik. Saya tidak punya rasa sungkan untuk mengungkapkan perasaan dan pendapat. Memang sedari kecil kami dibiasakan dan dididik untuk terbuka dengan anggota keluarga yang lain. Umik bilang, "bilang sama umik abi, karena kamu masih tanggung jawab umik sama abi. Kalau ada apa-apa, umik sama abi juga yang kena."
Tapi sebenarnya ada beberapa hal yang tidak saya sampaikan ke umikã…¡alih-alih ke Rumput. Bukannya saya tidak percaya ke umik, hanya saja saya merasa ada beberapa fenomena zaman sekarang.........hanya millennials yang paham.
Kepada Rumput saya meruahkan segalanya. Segala yang sebelumnya saya kotak-kotakkan, tidak dibagi dengan semua orang. A hingga Z. Hal paling cringey sampai isu-isu fenomenal kemanusiaan yang sedang hangat diperbincangkan oleh anak muda termasuk saya, yang oleh kalangan orangtua mungkin isu-isu seperti ini tidak masuk akal dan tabu.
Saya pernah membaca sebuah tulisan, mengenai tutup rapat masa lalumu yang buruk kepada pasangan, karena dengannya kamu menjelang masa depan. Tapi buat saya pribadi, mengetahui masa lalu pasangan adalah salah satu cara untuk mengenal lebih dalam. Apalagi bagi kami yang tidak pernah kenal dekat sebelumnya.
Benar, bahwa ketika Allaah sudah menutup aibmu, maka janganlah kamu membukanya di depan manusia lain. Dalam hal ini, ya bukannya kami semata-mata saling buka aib, melainkan berkisah tentang apa saja yang pernah dilakukan di masa lalu supaya muncul pengertian daaan mengambil pelajaran dari itu semua.
Kompromi Tiada Henti
Kompromi merupakan sebuah upaya atau bentuk komunikasi untuk mencapai kesepakatan antara dua pihak yang berbeda pendapat (berselisih paham). Bayangkan bila harus berkompromi terus-menerus sepanjang hidupmu? Terdengar mengerikan? Iya, bila menikah tanpa niat ibadah, kasih sayang, sabar, dan keyakinan badai....pasti berlalu.
Saya pernah membaca tulisan mbak Anya, founder sahabatjiwa.org, "kebanyakan kasus perceraian disebabkan karena mereka sudah tidak mau lagi berkompromi."
Lantas, aku bertanya kepada umik dan abi (di tempat dan waktu terpisah), "kalo umik/abi nyebelin, bikin sakit hati, perbuatannya ga sesuai dengan yang kita inginkan, ga bisa dinasehati untuk kebaikan.....kenapa masih bertahan? Toh cerai diperbolehkan."
Entah mereka telepati atau bagaimana, jawabannya sama: diniatkan ibadah. "Ibadah itu ga ada yang muluss cuma enak doang, pasti disitu ada usaha. Entah itu melawan malas bangun tahajud, nahan lapar, capek mikir belajar, kehujanan ke tempat kerja, rela berbagi rizki untuk bersedekah, jalan panas-panas ke masjid, apalagi menikah yang merupakan ibadah seumur hidup. Ujiannya lebih besar dan banyak."
Lagian, misalnya nih ada tindakan pasanganmu yang tidak sesuai keinginan; dia A, kamu maunya B. Kamu sudah tahu bahwa selama ini dia A. Lalu kamu mau ubah dia menjadi B dalam hitungan hari? Bulan? Tentuuuuuu tidak semudah itu. Butuh kesabaran, nah sabarmu sampai mana?
Mudah sekali menuliskan hal-hal di atas. Pada prakteknya? Susah, makan hati, ada tangis, amarah, putus asa, kecewa, menyerah. Akhirnya balik lagi ke Allah.....niat ibadah.
Dicintai Mencintai
Kayaknya daritadi hal-hal yang bikin mumet. Di akhir bagian ini, it's about love and being loved.
Alhamdulillah, hidup saya diselimuti cinta dan kasih sayang sejak lahir oleh orangtua, keluarga, saudara, teman-teman. Dulunya saya berpikir, cinta dari mereka sudah cukup. Baru saya rasakan, it's slightly definitely differently different.
Cinta kasih orangtua kepada anak dan sebaliknya adalah definisi unconditional love. Karena 1) kita tidak tahu akan menjadi seperti apa anak kita, tetap dialah anak kita 2) kita tidak bisa memilih lahir dari orangtua yang seperti apa, jadi apa adanya dan adanya apa mereka ya diterima.
Berbeda dengan cinta kasih kepada pasangan. Dengan kesadaran penuh kita memilih dia untuk dikasihi dan dicintai, yang diharapkan juga akan mengasihi dan mencintai kita.
Saya tidak menganut berpacaran sebelum menikah sebagai sarana mengenal pasangan lebih dekat sehingga ga kaget-kaget banget waktu udah nikah.
Well, justru aku ingin 'kejutan'. Saya ingin merasakan semua hal romantis (ew?), untuk pertama kalinya, dengan seseorang yang sudah sah untuk aku cintai dan mencintai saya secara halal. Deep talk, holding hands, kissing, hugging, anything lah you name it. Kami yang berawal dari orang asing, kemudian menjadi pasangan......oh this feeling is glorious. Ada letupan perasaan dan senyum malu-malu, grogi keringat dingin, dan getar nyaman yang menyeruak dalam dada.
Tentu saja sebelum menikah saya pernah bersimpati kepada beberapa laki-laki. Tapi sekuat tenaga saya halangi dan bentengi, usir jauh-jauh perasaan itu. Saya tidak ingin telena oleh perasaan tanpa kepastian. Namun kini, semua teruahkan padanya.
_______________________
Mengingat kembali tiga bulan awal pernikahan saat saling berjuang untuk menyesuaikan diri, mengimbangi ritme, kompromi segala perbedaan dan merayakan awal-awal kebersamaan. Ngambek, khawatir, cemburu untuk pertama kalinya......
Jadi, bagaimana sekarang?
Mulai bisa menemukan ritme yang nyaman, baik untuk masing-masing individu maupun kami sebagai pasangan.
Yang jelas, menikah tidak semengerikan ataupun semenyenangkan yang diceritakan atau kelihatannya. Semuanya dijadikan pas oleh Allaah, setidaknya menurut pengalaman saya pribadi.
Wallahualam bisshawwaab.