
Montana dan Bromo, salah dua makhluk penghuni Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang sudah bermukim di area ini seiring berpisahnya lempeng Eurasia dengan sang mula-mula, Pangea. Meski tak lagi bersama akibat adanya pergerakan dalam skala besar yang dilakukan oleh litosfer (kerak bumi), Eurasia dan ke lima belas lempengan tektonik lain di seluruh dunia tetap bersaudara.
Saya pertama kali menjumpai mereka lima tahun yang lalu, tepatnya tanggal 22 Juni 2013. Saat paket ujian nasional masih lima tipe, bukan dua puluh tipe, apalagi berbasis komputer (UNBK). Saat teman-teman saya masih asyik main ask.fm bukannya secreto, dan istilah-istilah seperti jaman milenial, sumbu pendek, jaman now belum lazim seperti sekarang. Apalagi debat, kitab suci itu fiksi!
Perjalanan dimulai dari sudut kabupaten Sidoarjo menuju Probolinggo, salah satu pintu masuk menuju TN Bromo Tengger Semeru. Rencananya, kami berangkat menggunakan mobil sensei Tutik, guru bahasa Jepang saya waktu SMA. Sensei Tutik sekeluarga; suami, sensei, Renda, dan adiknya bernama Indah, juga geng setan yang terdiri dari saya, Tika, Intan, Lisa, dan Sherly.
Kenapa geng setan? Karena mereka hampir selalu mengumpulkan tugas sebelum tenggat waktu yang ditentukan guru. Vice versa teman-teman yang lain, makanya mucullah kelompok 'sumbu pendek' yang ngatain mereka geng setan dicap so pintar so rajin delelel. Saya sih gak termasuk karena beda kelas (saya bahasa, mereka IPA). Miris ya sebenarnya. Ada teman rajin bukannya kompetisi sehat, malah talk behind their back.
Kenapa geng setan? Karena mereka hampir selalu mengumpulkan tugas sebelum tenggat waktu yang ditentukan guru. Vice versa teman-teman yang lain, makanya mucullah kelompok 'sumbu pendek' yang ngatain mereka geng setan dicap so pintar so rajin delelel. Saya sih gak termasuk karena beda kelas (saya bahasa, mereka IPA). Miris ya sebenarnya. Ada teman rajin bukannya kompetisi sehat, malah talk behind their back.
Long story short, jam 5 sore dari Sidoarjo akhirnya sampai Probolinggo jam 8 malam. Lalu kami istirahat di penginapan sederhana. Jam 3 bangun, bersiap naik hardtop menuju penanjakan. Di sinilah pertamakalinya saya bertemu dengan sang Montana.
Omong-omong, semua foto di artikel ini dijepret menggunakan kamera digital merk Samsung tipe PL120 keluaran Januari 2011.
SANG MONTANA

Jadi MONTANA adalah istilah untuk salah satu tipe ekosistem hahahaha.
Montane forest atau hutan pegunungan adalah salah satu orde hutan tropika basah yang berada di wilayah pegunungan. Cena yang gampang dikenali adalah, terbentuknya awan atau kabut tebal yang menyelimuti hutan pada ketinggian atap tajuk/kanopinya. Selain itu, pepohonan (terutama bagian batang) dan tanah tertutupi lumut yang tumbuh subur. Maka dari itu orde hutan seperti ini juga disebut hutan lumut, hutan kabut, atau hutan awan.
Sebagai kawasan yang berada di ketinggian antara 750-3.676 mdpl, TN Bromo Tengger Semeru memiliki tiga jenis tipe ekosistem yang didasarkan pada elevasinya, yaitu; montana, sub-montana, dan sub-alpin.

LOOK AT THAT!
Imajinasi saya membawa seakan-akan melayang ke pedalaman Schwarzwald di Jerman. Seiring jarum jam menghentak ke kanan, kabut sirna perlahan. Membiarkan mata saya menjelajah kuncup-kuncup pinus yang terlihat seperti pasukan pangeran Nutcracker yang siap siaga melawan Raja Tikus.
Sepeda Motoran ke B29? Kuy!
Sepeda Motoran ke B29? Kuy!
Pemandangan ini yang tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 28 bulan Mei 2016, kembali saya lihat dari sudut lain TN Bromo Tengger Semeru, Puncak B29. Saya sangat menikmati detik-detik kabut putih tebal yang menggelayuti Desa Cemoro Lawang tersaput turun menuju dinding terjal kaldera, seperti air terjun tak melawan gravitasi.
SANG BROMO

Foto ini diambil dengan kamera pertama saya, Samsung PL120,PL121/VLUU PL120,PL121. Sebuah kamera poket digital yang ada layar depannya, jadi bisa atur gaya kalau mau swafoto. 2013, adalah saat saya belum mengerti teknik dan sensitifitas fotografi apapun selain bokeh ala-ala. Tapi hasilnya not bad lah menurut saya hahaha. I still love these captures tho meski amburegul.
Seandainya sang Bromo dirupakan manusia, mungkin panjang rambutnya sudah sampai Nigeria dengan warna putih cenderung translusens. Tapi ia adalah bentang alam, yang kelesatariannya bergantung pada manusia-ea. Kekuatannya bukan semakin lemah seperti manusia yang menjelang tua, tapi justru sang Bromo (mungkin) sedang menghimpun kekuatan untuk memberi kita surprissseeee---muntahan lahar, magma, ataupun wedus gembel. Naudzubillahi min dzaalik.
SAMBUT SARABARA CAHAYA
Bromo merupakan salah satu titik menikmati matahari terbit paling menawan dan terkenal di Jawa Timur. Gimana enggak, awalnya hanya berkas-berkas, kemudian bola gas panas raksasa bernama matahari menyembul malu-malu di balik tebing sebelah timur. Membuat kuncup-kuncup mulai merekah kekuningan. MasyaAllah.
Saat itulah saya yang pendek harus berburu titik pandang dengan orang lain, termasuk dengan bule-bule yang sudah siap dengan kamera masing-masing. Sesekali angin ringan membawa aroma kopi, teh, dan gorengan yang dijual di dekat gardu pandang. Saya haus, tapi gak punya cukup nyali untuk beli air mineral 600 ml dengan harga 10.000 rupiah.
In photography, bokeh (Japanese: [boke]) is the aesthetic quality of the blur produced in the out-of-focus parts of an image produced by a lens.

Siswa-siswi Indonesia mana yang nggak pernah nggak foto sama bule demi tugas wawancara ajangkarya?
SIAPA SAHABAT SANG BROMO?
Gunung Batok
Yup! Benar sekali, jawabannya adalah gunung Batok. Mereka bersahabat meski serupa tapi tak sama. Gunung Batok memiliki selisih 111 meter lebih tinggi daripada gunung Bromo. Bila Bromo tergolong gunung yang masih aktif, maka gunung Batok sudah mati. Dengan begitu Bromo masih punya kesempatan untuk menambah tingginya.

Potret jalur pendakian gunung Bromo yang mengular seperti jalan semut.
Dari parkiran di bawah, pengunjung yang merasa tidak kuat bisa menyewa kuda untuk sampai ke atas. Saya lupa-lupa ingat, tapi kayaknya kuda di sini tidak diberi wadah buang poop. Akibatnya, kotoran kuda yang telah mengering berakumulasi dengan debu menyesakkan paru-paru.
SELAMAT JALAN JAYA KUSUMA

Apa ini? Inilah kawah Gunung Bromo, tempat Jaya Kusuma katanya dilalap api dan masuk ke dalam sana. Jaya Kusuma merupakan anak bungsu Jaka Seger dan Rara Anteng dari 25 bersaudara. Dari tempat inilah cikal bakal terselenggaranya upacara atau ritual keagamaan masyarakat Hindu Tengger, KASADA.

Kaldera lautan pasir yang luasnya kurang lebih 6.290 ha. Terlihat dari sini dinding terjal setinggi 200-700 m jauh di sana sebagai batas area TN Bromo Tengger Semeru.

Notice the almost-invisible halo.
MEMBELAH HALIMUN

Cuaca yang terik saat kami mendaki dan turun dari gunung Bromo berangsur mendingin karena turunnya kabut di lautan pasir. Langit biru makin lama makin kelabu. Berkali-kali hardtop kami keluar-masuk kabut tebal rendah yang menghalangi pandangan. Ini keren banget! Hingga sampailah di padang sabana yang sedikit menguning di musim panas.
Jangan Lewatkan Main di Bukit Teletubbies!
Jangan Lewatkan Main di Bukit Teletubbies!
The fog, the weeds, and the silence.
Inilah kilas balik perjalanan saya lima tahun yang lalu ke Penanjakan, Bromo. Mengejar sesuatu yang membuat banyak orang penasaran dan berdecak kagum, matahari terbit, dengan sisa-sisa dokumentasi foto ala kadarnya. Meski resolusi nya rendah dan banyak fokus yang kabur, saya merasa jadi punya montase klasik-antik Bromo, hahaha.
So, be here soon?
𝐇𝐚𝐢, 𝐭𝐞𝐫𝐢𝐦𝐚𝐤𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐮𝐧𝐣𝐮𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐞𝐧𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐭𝐮𝐥𝐢𝐬𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐲𝐚. 𝐊𝐢𝐫𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐮𝐝𝐢 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐬𝐮𝐚𝐭𝐮 𝐝𝐢 𝐤𝐨𝐥𝐨𝐦 𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫, 𝐬𝐮𝐩𝐚𝐲𝐚 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐢𝐬𝐚 𝐬𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐧𝐚𝐥 :) 𝐌𝐚𝐫𝐢 𝐛𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐢𝐧𝐬𝐭𝐚𝐠𝐫𝐚𝐦 @𝐙𝐇𝐀𝐑𝐍𝐃
𝐇𝐚𝐢, 𝐭𝐞𝐫𝐢𝐦𝐚𝐤𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐮𝐧𝐣𝐮𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐞𝐧𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐭𝐮𝐥𝐢𝐬𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐲𝐚. 𝐊𝐢𝐫𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐮𝐝𝐢 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐬𝐮𝐚𝐭𝐮 𝐝𝐢 𝐤𝐨𝐥𝐨𝐦 𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫, 𝐬𝐮𝐩𝐚𝐲𝐚 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐢𝐬𝐚 𝐬𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐧𝐚𝐥 :) 𝐌𝐚𝐫𝐢 𝐛𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐢𝐧𝐬𝐭𝐚𝐠𝐫𝐚𝐦 @𝐙𝐇𝐀𝐑𝐍𝐃