Ketika Nyawa Satu Keluarga Berharga 30 Ribu

Untitled
Sabtu 28 Januari 2017. Sebuah keluarga bahagia mempersiapkan diri untuk sebuah perjalanan melepas penat. Sang kepala keluarga dan jejaka kedua sibuk membersihkan dan mempersiapkan mobil di depan rumah. Sang ibu bersama gadis pertamanya di dapur menyiapkan rupa-rupa kudapan. Gadis kedua menata dan menjemur baju dibantu gadis ketiga. Sedang satu tuyul jantan lucu berkeliaran kesana-kemari tertawa riang mengganggu kakak-kakaknya. 

Setelah drama malas mandi semua ekor keluarga tersebut, pada jam 11 akhirnya roda mobil melaju di atas aspal panas. AC mobil yang sudah disetel maksimal tidak bisa menahan hawa panas yang menyusup dari paparan terik matahari di jendela-jendelanya. Namun canda riang yang bersahut-sahutan membuat itu semua terlupa.

Perjalanan yang tak terencana untuk kesekian kalinya ini akhirnya mendapat pencerahan. Mari kita ke Malang! Di Malang mau ngapain nanti sajalah, yang penting jalan dulu.

Seperti biasa radio Suara Surabaya mengudara, menginformasikan kepada para pendengar megenai keadaan lalu lintas sekitaran Surabaya. Libur panjang Sabtu-Minggu karena tahun baru Cina alias Lunar Year alias Imlek, bisa dipastikan membuat banyak orang berlomba-lomba keluar rumah mencari udara segar. Dan Jawa Timur khususnya bagian timur menjadikan Malang sebagai tujuan yang paling laris. Siapa memang yang bisa tidak rindu dengan udara dinginnya?

Akibatnya Malang diserbu dari berbagai arah. Dari Surabaya, ada 2 alternatif menuju Malang. Lewat bawah yaitu Surabaya-Sidoarjo-Porong-Pandaan-Lawang-Singosari-Malang, atau lewat jalan tol. Ada seorang pendengar yang melaporkan berangkat dari Gresik jam 8 pagi, dan baru sampai di Singosari jam 1 siang! Luar biasa.....sampai mual membayangkan bagaimana kepadatannya.

Selain itu juga ada banyak laporan bagaimana keadaan lalu lintas yang macet total, berhenti total 20 menit, antrean super duper panjang di pintu masuk tol, bahkan langsung berhenti lagi di pintu keluar tol akibat berhadapan langsung dengan persimpangan jalan.

Intinya, libur panjang Imlek kali ini benar-benar padat dan panas!

Sudah beberapa penelepon menyarankan agar lebih baik tidak ke arah Malang karena akan berhadapan dengan macet yang tak putus-putus. Lebih kasihan pada mereka yang sudah menyewa bis. Bisa-bisa sampai di Malang malam hari, lalu mainnya kapan?

Kembali ke keluarga bahagia tadi, sang bapak memutuskan untuk ambil jalur lain, yang sekiranya-berharap-tidak menjadi pilihan banyak orang sehingga bisa lolos ke Malang tanpa macet. Dari Sidoarjo melewati Tulangan yang nantinya akan tembus di Cangar, Bumiaji, kemudian Batu, dan Malang.

Sudah asyik berbangga hati melewati jalanan mulus tanpa macet. Terpikir Cangar yang dingin menawan hati menunggu kami di depan sana. Setelah hampir satu setengah jam, akhirnya sampai di Pacet. Dan di satu turunan, macet tak dapat dicegah. Kami berada di sebuah jajaran panjang mobil-mobil dalam keadaan miring yang berhenti total.

Whusss!!! 

Tanpa lama, sang bapak memutuskan untuk keluar dari antrian dan putar balik menuju arah Celaket. Karena sudah siang dan sudah pantas makan siang, mereka mencari tempat teduh di sekitaran Celaket. Dan sampailah di sebuah terminal mini. Di sana sang ibu mulai menata piknik di bawah pohon besar bersama anak-anaknya.

Setelah kenyang makan dan minum diselingi gulat sana sini, sekitar jam 4 mereka mulai berbenah menuju ke Malang. Semoga tak semacet tadi. Benar saja, laingit mulai mendung dan langit pekat menurunkan hujan. Jalanan menjadi sepi hanya satu dua kendaraan.

Tak ada halangan berarti di Cangar. Hijaunya kanan kiri jalan dengan pepohonannya yang besar mengundang decak kagum. Segumpalan kabut melewati jalan membuat sorak gembira. Sang bapak harus mengendalikan mobil dengan kehati-hatian tinggi sedang anak-anaknya malah kegirangan ketika mobil masuk tenggelam dalam kabut. Bahkan jarak panang 15 meter tak dapat melihat apa-apa. 

Dari Cangar menuju Bumiaji, hujan berhenti menyisakan kabut tebal dan udara yang semakin mendingin. 5 ekor hasil persilangan dua manusia yang duduk di baris kedua mobil saling berpelukan berbagi kehangatan. Mata mereka tak henti berbinar kala kabut tebal menerpa wajah. Jendela mobil dibuka lebar-lebar, segera angin dingin bersirobok menyeruak masuk.

Yang statusnya anak-anak gembira-gembira saja menikmati pemandangan. Si ibu sibuk mengingatkan untuk terus berdzikir. Si bapak yang paling sulit. Jalanan Cangar menuju Bumiaji kanan kirinya ada jurang, akibat hujan jadi licin, ada beberapa titik kelokan tajam dipadu jalan tanjakan. Si bapak deg-degan. Tapi tetap tenang.

Satu kelokan tajam dilalui dengan menggunakan perseneling 1.

Kelokan dan tanjakan kedua alhamdulillah bisa dilalui dengan mulus.

Kelokan berikutnya semakin dekat dengan Bumiaji.

Ketika akan berbelok sekaligus menanjak, tiba-tiba mobil berjarak sekitar 30 meter di depan berhenti tepat di tikungan dengan posisi jalan yang menanjak. Seketika si bapak menarik rem tangan dan membunyikan bel, seraya berteriak memberitahu mobil-mobil di belakang agar berhenti. Posisi yang sangat berbahaya. Di tanjakan seharusnya ada ancang-ancang atau awalan agar kendaraan dapat menanjak dengan mulus. Namun karena suatu hal di atas sana, mobil harus berhenti.

Ada beberapa orang berseragam kaos biru-entah seragam apa, tak terlihat logonya-, membawa batu dan berteriak-teriak menyerukan perintah pada mobil di atas. Ada mobil yang berhenti di tanjakan, dan ketika berusaha menambah gas, yang terjadi adalah mobil tersebut melorot.

Seketika satu keluarga itu menyerukan kalimat-kalimat Allah, ketakutan.

Namun dengan sigap beberapa orang tadi menyelipkan batu di roda belakang mobil, kemudian beberapa orang yang lain bekerja sama mendorong mobil tersebut hingga dapat melaju lagi dengan selamat.

Mobil selanjutnya yang tepat berada di depan mobil keluarga tersebut bersiap mengambil ancang-ancang. Gas ditekan dan ban berputar mendecit menggesek aspal mempertahankan agar tidak selip. Dibantu lagi oleh orang-orang yang tadi, mobil itupun dapat melaju ke atas.

Kupikir, betapa mulianya mereka. Ditengah udara dingin di sebuah tikungan tajam mereka membantu mengatur jalannya kendaraan dan para pengendara  yang mungkin sekiranya tidak terlalu mahir. Jadi apabila ada melorotnya, mereka akan menyiapkan batu dan membantu mendorong.

Keluarga bahagia itu adalah keluargaku. Abi sebagai sopir, umik di sebelah abi, dan kami lima bersaudara saling menautkan tangan berdebar. Adik tekecil menyembunyikan kepalanya di pelukanku, takut katanya.

Selanjutnya abi mengambil ancang-ancang. Rem tangan dilepas, pindah ke perseneling gigi satu, kemudian gas diinjak perlahan namun pasti. 

Seperti biasa, di tikungan tajam seperti itu, kami memberikan rasa terimakasih kepada para mereka yang membantu para pengendara mobil mengatur lalu lintas agar tak terjadi tumpukan atau bentrokan kendaraan. Jadi abi menyiapkan beberapa koin rupiah.

Mendekati tikungan yang ada orang-orangnya tersebut, abi mengulurkan tangan untuk memberikan koin yang disambut seruan,

"Lempar aja pak!"

Dan dilemparlah koin-koin tersebut.

Menanjak curam 10 meter kemudian langsung berbelok ke kiri di tikungan tajam yang juga langsung disambut tanjakan juga. Sekiranya sedikit salah perhitungan, ban belakang mobil berputar cepat di atas aspal licin. Tak dapat naik! Ban belakang tergelincir menyebabkan mobil merosot ke belakang. Dan kami tahu pasti di belakang adalah jurang.

Panik melanda meski kulihat abi dengan tenangnya langsung menarik kembali rem tangan.

Ditengah kekalutan dan ketakutan, orang-orang tadi segera menghampiri mobil kami dan berseru dari belakang. Menginstruksikan aba-aba.

Tiba-tiba seorang dari mereka mendekat ke jendela bagian sopir, bagian abi, dan berkata.

"Dibantu dorong pak, 30 ribu."

AKU SYOK. Kami semua menoleh tak percaya pada mas-mas yang berbicara itu.

Jujur saja, aku melongo tak paham dan (aku merasa) jantungku berhenti.

What the heck he's saying about? Is he kidding us?

Behind us is ravine, there's 7 human who is still alive in this car. It's right in the sharp bend and steep inclines! And he asked for rupiah? Thirty thousand rupiah?

Is he making joke about our fear?

Namun alhamdulillah, tetap dengan ketenangan yang luar biasa abi kemudian melepaskan rem tangan dan menginjak gas sambil memutar kemudi. Dan akhirnya mobil dapat melaju ke atas terus perlahan dengan perseneling gigi 1.

Hingga berada pada jalan yang tak berbahaya, masih dengan nada tak percaya, aku berkata,

"Tadi itu beneran minta duit 30 ribu? Kok lucu. Bisa jadi (naudzubillah) mobil ini melorot, yang mana posisinya sangat membahayakan. Trus minta duit???"

Bukan masalah nominal, tapi konteks keadaan saat dia berkata seperti itu. Seakan-akan seperti,

'Pak kalau mau selamat bayar 30 ribu dulu'

Tolong katakan pada saya, apa saya yang terlalu matre atau pelit?

Atau saya terlalu terlena dengan stereotip negara ini yang menawan hati 'masyarakatnya ramah-ramah suka menolong, keleuargaannya tinggi' seperti ini?

Saya tak habis pikir.

Apa ini yang namanya bisnis baru? Bertempat di tempat-tempat strategis-berbahaya, kemudian meraup pundi-pundi dari mereka yang sekiranya pada posisi yang tak aman? Wah, keren ya.

Apa ini?

4 comments:

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya.

Bila berkenan sila meninggalkan komentar, supaya; 1) saya bisa tahu kamu, kita berkenalan, saya mampir ke blog kamu, kita menjadi teman! 2) beritahu saya apabila ada kritik dan saran.

Sekali lagi, terimakasih banyak :)

Instagram