Seri "Puasa di Tanah Saudara" bagian 9
| bagian 1 Bukit Malimbu | bagian 2 Pantai Seger | bagian 3 Tanjung Aan dan Bukit Merese| bagian 4 Bukit Nipah | bagian 5 Gili Air 1 | bagian 6 Gili Air 2 | bagian 7 Pulau Kenawa 1 | bagian 8 Pulau Kenawa 2 | bagian 9 Desa Mantar | bagian 10 Pantai Sekotong dan Mekaki | bagian 11 Taman Narmada |
Dari
pelupuk terlihat awan hitam yang mulai membayang dari arah Timur. Merelakan lens
cap yang mungkin untuk selamanya berbaring damai di Pulau Kenawa. Bukan
bermaksud meninggalkan barang atau buang sampah sembarangan, biarlah ia menjadi
penanda akan keberadaan saya yang pernah di sana. Rest in peace buddy.
Dikawal
pak Nur dan pak Cau, saya dan mba Jule membereskan barang dan menaiki perahu.
Mesin dinyalakan, menderu membelah sepi di tepi Kenawa. Bambu panjang
disodokkan ke dermaga, menjauhi. Lalu kemudian semakin jauh dan jauh. Ekor mata
sesekali melirik pada pulau indah yang tak lagi perawan akan perjalanan para
petualang. Pulau berbukit dengan padang rumput kerdil dan tepianmu yang
memesona, tidurku yang beralas kayu dermaga berumbai langit malam berbintang,
dengan celotehan riak air. Berputar satu hari matahari meredup membelakangi
Rinjani, terentas kemudian matahari dari sebelah Timur. Bila ada kesempatan,
nanti 'kan kujumpai kembali, kapan-kapan.
 ![]() |
Terimakasih atas cerita serunya mengenai Sumbawa dan Pulau Moyo, Pak Nur! Semoga suatu saat ada kesempatan bagi kami untuk ikut bapak mengunjungi Moyo, hehe. |
Kapas
abu-abu tua mendekat, bulir demi bulir menghujam. Setelah tari perahu
tertambat, kami berteduh di bawah atap dermaga Poto Tano. Hujan yang melebat
terdengar dramatis karena ats terbuat dari seng. Melihat beberapa nelayan yang
masih memancing di kejauhan.
Melindungi
barang-barang dari terpaan hujan yang dibawa angin, meresapi pengalaman sehari
di pulau pribadi disambut pootngan-potongan ingatan perjalanan hari kemarin dan
kemarinya lagi. Maka nikmat Tuhan manakah yang kami dustakan? Berkali
mengucap hamdalah dan istighfar atas penjagaan Allah, terhadap kami, dua
pejalan.
Hujan
mereda.Kami mengambil sepeda motor dan helm yang dititipkan di kantor jembatan
timbang. Berniat mencari penginapan murah disekitar. Rencananya, besok akan ke
Mantar.
Kemudian
keramahan itu datang lagi menyapa. Kami ditawari pak Cau untuk menginap di
rumahnya. Tentu tak kami tolak. Berdinding bata abu beratap genting beralas
kasur. Malam itu kami tidur berbayang Kenawa yang jauhnya sepelemparan perahu.
Pak
Cau bercerita orang-orang di sini berasal dari suku Bajo, Sulawesi. Bahasanya pun
tak jauh berbeda meski berbeda. Meski dekat dengan laut yang melimpah air,
sayangnya air bersih di daerah ini sulit sekali mendapatkannya.
 |
Rumah 'ramah' pak Cau |
Keesokan
harinya, diantar senyum ramah pak Cau, kami melanjutkan kembali perjalanan
menuju Desa Mantar. Pagi berbiru melintasi jalanan sepi Sumbawa yang mulus.
Mampir di sebuah masjid besar pinggir jalan untuk membersihkan diri. Bagi kami
yang tidak menjumpai toilet selama hampir dua hari, masjid ini terasa nyaman
sekali dengan airnya yang segar dan kamar mandinya yang bersih. Sejam kemudian,
tancap gas lagi.
 |
Palang penunjuk arah dekat rumah terasa biasa, lain halnya dengan palang yang terdapat jauh dari rumah. Nama daerah yang tertulis terasa asing dan keren. |
 |
Jalan 'bagus' ini melegakan setelah sekian puluh menit terlonjak-lonjak di atas kerikil. |
Sedikit
terdistorsi arah, kami bertanya pada beberapa ibu yang sedang santai dipinggir
jalan.
"Permisi
bu, jalan ke Mantar lewat mana ya?"
"Itu
dek, gang sebelah sana."
"Terimakasih
bu."
"Jalan
kesana jauh dek, jelek pula, habis hujan soalnya."
"Ah
hehehe, tidak apa-apa bu."
"Yasudah,
namanya juga anak muda ya."
"Iya
bu, kami pamit dulu."
Menuju
jalan yang ditunjuk ibu tadi, sambil berpikir bagaimana nanti setelahnya
menerobos terus ke timur Sumbawa menilik pantainya yang mengundang penasaran.
Kemudian
di depan saya terhampar jalanan tepat seperti yang dideskripsikan ibu-ibu tadi.
Hanya 50 meter jalan beraspal, kemudian berganti menjadi jalan tanah yang becek
berlumpur. Hati menjadi ragu, seperti ada yang merongrong untuk kembali dan
mengubah rute menuju pantai.
Beberapa
kali saya tergelincir. Beberapa kali saya berhenti menghitung kemungkinan.
Banyak kali tikungan tajam yang berkelok menukik. Perjalanan yang tidak mudah.
Berpikir dengan tepat mana lajur yang harus diambil di antara longsoran
bebatuan.
Setelahnya
kami menemui tiga titik jalan cor mulus selebar satu setengah meter yang hanya
menjulur sekitar 100-200 meter yang tersambung dengan jalan makadam
alias berbatu tak mulus sama sekali.
Sesekali
menengok kanan kiri di antara interval kefokusan. Pemandangan yang menemani
semakin memacu adrenalin. Di bawah sana sawah dan ladang menghampar ditancapi
barisan bukit, mengingatkan pada sebuah tempat di Batu, Paralayang. Namun
jelas, dengan sensasi yang berbeda. Di Paralayang akan ditemukan seraut wajah
kota yang sibuk dengan lampu berbinar di bawah sana. Membayangkan kondisi malam
di sini, rasanya tak mungkin. Dengan kerapatan rumah yang jarang dengan petak-petak
ladang maupun sawah yang mulai mongering. Jelas malam di atas sini tidak akan
menjelma menjadi bukit berbintang.
 |
Semalam hujan, lumpur dan genangan air di mana-mana, lanjut sajalah! |
Semakin
jauh semakin berlumpur. Makin jauh lagi jalanan kian menanjak. Benar tak lagi
berlumpur, namun digantikan oleh batu-batuan dengan tanah yang tak mapan. Salah
sedikit bisa tergelincir karena batunya yang peroh alias berceceran.
Dibeberapa tempat batunya semakin membesar hingga mba Jule harus turun.
Menjumpai siswa yang juga menuju Mantar sehabis pulang sekolah membuat saya
terpacu. Ayolah, mereka bisa, saya juga harus bisa!
 |
Kurang seimbang, alhasil berlumur lumpur. |
Satu
jam melonjak-lonjak di jalanan kerikil yang batuannya hampir tidak bisa disebut
kerikil—sebenarnya.
Kemudian
disambut jalan desa berpaving, akhirnya……
Selamat
datang di Kawasan Budaya Desa Mantar.
Mengamati
rumah kayu berbentuk panggung yang berjejer menyusuri desa nun jauh di sini.
Menghela nafas berucap syukur. Sejam yang lalu saya goyah niat ingin berbalik.
Kini, saya dan mba Jule mulai menyusuri jalanan desa Mantar. Mantar memang
terpencil, hingga kami yang berjilbab terlihat seperti manusia yang benar-benar
asing. Sepanjang melintas, tak hentinya diiringi tatapan ingin tahu penduduk
desa. Sebenarnya pun, kami juga saling melempar rasa ingin tahu.
Memelankan
laju, kam berhenti ketika bertemu dengan segerombolan ibu-ibu yang sepertinya
asyik bercengkrama sambil miteni tumo alias mencari kutu rambut. Setelah
salam kami bertanya kemana arah paralayang. Dengan ramah mereka menunjuk satu
arah. Setelah mengucap salam kembali, kami melanjutkan perjalanan.
 |
Suasana Desa Mantar |
 |
Tempat ini memang belum lama 'ditemukan' |
 |
Suasana sepi ditemani deretan makam, saya sok cool sajalah..... |
Antara
rasa penasaran yang semakin membuncah, dan merasai sisa-sisa goncangan jalan makadam
selama sekitar satu jam sebelumnya. Jalanan beralih dari paving ke ‘mentanah’
lagi dengan becek di sana-sini. Dan akhirnya setelah sekitar lima belas menit kami
sampai di lapangan luas.
PARALAYANG
MANTAR!
Sepi
tak ada orang, kami menghela nafas bersama. Tanpa suara kami turun dan
menikmati pemandangan alam yang disajikan Allah. Segera mba Jule menuju saung
dan rebahan di sana, meski statusnya ‘yang dibonceng’, sebenarnya bisa jadi
lebih lelas daripada ‘pembonceng’nya karena harus beberapa kali naik turun demi
keseimbangan motor, atau lebih tepatnya sih ngeri di beberapa tanjakan yang
curam.
 |
Kamu hebat motor! Kita adalah pasangan hebat dalam menaklukkan jalan makadam menuju Mantar, senang bekerja sama denganmu, Merah :) |
 |
'Gundukan' itu bernama Zulaikha. |
 |
Sekiranya memang disediakan untuk pedagang untuk melayani pengunjung yang kelaparan dan kehausan, tapi terimakasih atas 'ketidakadaannya' dan membiarkan kami memiliki tempat ini barang sejenak. |
 |
Ladangnya kering sih, namun hijau tetap merambat merayap |
Di sini,
pemandangan paginya yang mempesona. Kalau malam, tak tahulah, mungkin hanya
beberapa titik lampu di pelabuhan dan rumah yang berjarak. Saya jadi
membandingkan dengan puncak B29. Dari ketinggian yang kami nikmati adalah
puncak Bromo, sundulan Semeru, dan ladang luas berbukit para petani.
Semilir
angin dan bunyi-bunyian alam mengiringi ekplorasi saya. Berdiri di pinggiran
tebing paralayang, nun jauh di sana Rinjani mengangkang gagah segaris dengan
horizon. Menghampar ladang kering berbatas pantai hingga kemudian berarak bebas
menuju Seteluk yang tenang. Di Malang pun ada paralayang, juga sama indahnya
meski berbeda. Paralayang di Malang memiliki julukan lain yaitu Bukit Bintang.
Karena pada malam hari, dari ketinggian kita dapat melihat padatnya kota Batu
dan Malang yang berpendar indah dengan lampu-lampu kecilnya dalam sebuah lembah
yang dipeluk oleh barisan bukit yang agak ‘gunung’.
Sedang
Mantar menawarkan three jackpots. Rinjani, ladang kering nan hijau, dan
laut. Sekiranya memang, tempat ini pantas untuk ajang kompetisi paralayang
internasional.
Setelah
asyik mengabadikan momen, sekitar jam 10 kami berberes untuk kembali ke
pelabuhan Poto Tano, mengira-ngira estimasi waktu perjalanan menuju Mataram. Sedih
rasanya, meninggalkan Sumbawa dengan angan-angan menjelajah pantainya dan Pulau
Moyo yang belum terlaksana. Sekiranya, pada suatu hari jika Allah berkenan,
kami akan kembali lagi! Kalau bisa melipir terus hingga ke Flores, Pulau Padae,
Way Rebo, kemudian Raja Ampat! Hehehe.
 |
Ekor mata menyusuri garis pantai elok menawan dibatasi pepohonan yang terlihat imut dari atas sini. |
 |
Masihkah saya 'valak muslimah'? |
Perjalanan
pulang melintasi kembal jalan macadam tidak bisa dikatakan lebih mudah. Lebih terbiasa
iya, hanya dibutuhkan tenaga yang lebih besar lagi karena jalan yang curam dan
berbatu hingga harus menahan rem sepanjang waktu. Mba Jule pun beberapa kali
harus turun.
 |
Pergi lengang pulang lengang. Yang butuh ketenangan, silahkan bersenang (di sini!) |
Adzan
dzuhur berkumandang, para lelaki muslim mulai berdatangan ke masjid. Sedang kami
melaju sepanjang jalanan Sumbawa yang mulus, sepi, lengang, dan terik.
Pelabuhan
Poto Tano kala itu tak seramai ketika awal kami berangkat. Mungkin karena
masih waktu shalat Jum’at, pikir saya.
Sambil
menunggu keberangkatan kapal, tanpa sadar potongan dua hari kemarin melintas
sesukanya. Untuk Sumbawa, terimakasih. Terimakasih ya Allah.
Sumbawa
memang indah. Sekiranya, pelabuhan Poto Tano adalah pelabuhan terindah dan
terbersih yang pernah saya tahu. Seperti bukan ladang komersil, malah
pariwisata. Pasirnya putih dan airnya yang bening kebiruan menyambut kapal-kapal
yang berlabuh sepanjang bibirnya.
 |
credit pic : dowith-passion.blogspot.com || Beningnya! Segarnya! |
Kapal mulai melaju, kemudian sekitar dua jam berlalu kami sampai di
Pelabuhan Kayangan. Menuju Mataram yang berjarak kira-kira tiga jam. Tak beda
terik Lombok dan Sumbawa sebenarnya, hanya kemudian perasaan asing itu
menjalar. Menyusuri jalanan Lombok membuat hati saya pecah akan rasa rindu
rumah yang terobati. Entah sejak kapan, rasanya saya kembali ke rumah! Padahal Jawa
Timur masih satu pulau di sebelah barat sana.
Saya pun heran, sejak kapan rasa familiar akan rumah saya dapatkan di
tanah saudara, Lombok?
Apalagi ketika setengah perjalanan, langit menjadi pekat sekali. Awan kelabu
bergelung mengejar putaran roda. Dan tanpa tedeng aling-aling, sang terik
tersapu oleh butiran hujan deras. Kami sempat berteduh, namun karena mengejar waktu
kami terabas tirai hujan.
Berhari-hari lalu kami bermandikan terik hingga baju beraroma gosong,
kini kami benar-benar mandi air from top to toe. Basah semua!
Tak ada pilihan lain dan memang pilihan terbaik saat itu, jam lima sore kami menuju Wisma Nusantara yang
berada di Cakranegara. Benar-benar deh! Serasa kembali ke kontrakan. Saya
segera bersih diri dan shalat ashar, sedang mba Jule keluar membeli makan. Menu
kami hari itu adalah martabak keju, jus tomat, plecing, dan Ayam Taliwang. Saya
bahagia!