Lombok #7 Pulau Kenawa: Beralas Dermaga dan Semalam Tanpa Adzan

Seri "Puasa di Tanah Saudara" bagian 7

bagian 1 Bukit Malimbu | bagian 2 Pantai Seger bagian 3 Tanjung Aan dan Bukit Meresebagian 4 Bukit Nipah | bagian 5 Gili Air 1 | bagian 6 Gili Air 2 | bagian 7 Pulau Kenawa 1 | bagian 8 Pulau Kenawa 2 | bagian 9 Desa Mantar | bagian 10 Pantai Sekotong dan Mekaki bagian 11 Taman Narmada |

Dermaga Pulau Kenawa Sumbawa

Katanya Sumbawa itu panas,
katanya Sumbawa itu 'seribu pulau, seribu sapi',
katanya Sumbawa itu gersang,
katanya Sumbawa itu mahal,
katanya Sumbawa itu jauh.

Katanya pulau Kenawa itu indah,
katanya pulau Kenawa itu menantang,
katanya pulau Kenawa itu menarik,
katanya pulau Kenawa itu di Sumbawa.

Suatu siang dari sekian siang yang saya habiskan di Perpustakaan Pusat UIN Malik Ibrahim Malang lantai tiga bersama mba Jule. Berawal dari celetukan ingin main ke pulau Lombok dan kemudian merembet cetusan main ke pulau Kenawa akibat blogwalking. Di mana? Di Sumbawa, lebih jauh lagi menyebrang semakin ke timur Indonesia.

Bagi saya, seorang pejalan pemula, bagai serbuk sari bunga Anggrek. Kecil hampir tak terlihat, namun mempesona menarik saya untuk menyipitkan mata melihat detailnya. 

Memang bisa ya sampai sana? Harus lompat berapa pulau? Manusianya bagaimana?

Mari awali dengan bacaan basmalah.

Berharap berjumpa lagi, suatu hari nanti.
Tanggal 15 Juni, diantar oleh ibunya Memy dan Memy, saya dan mba Jule meninggalkan pulau indah Gili Air. Sekali lagi, terimakasih keluarga Memy atas jamuannya. Semoga Allah memberkahi.

Memilih jalur lewat kota Mataram yang tertempuh sekitar satu setengah jam dari pelabuhan Bangsal, kemudian saya mengambil alih stang kemudi menuju pelabuhan Kayangan dengan estimasi waktu tempuh tiga jam.

Seiring berputarnya roda motor dan waktu melintasi jalanan di sisi lain pulau Lombok. Sebenarnya tak terlalu berbeda dengan keadaan di Jawa, namun pikiran tetap melompat-lompat, 'motoran ke pelosok Lombok menuju Sumbawaa!'. Serasa melayang beradu dengan truk-truk besar yang sepertinya baru menyebrang dari pulau seberang. Juga mengejar waktu agar tidak perlu menunggu waktu menyebrang seperti di pelabuhan Bakauheni di Lampung, yang ternyata di pelabuhan Kayangan ini, penyebrangan tersedia 24 jam.

Waktu terus bergulir seiring bertambahnya papan penunjuk arah menuju pelabuhan Kayangan yang terlewati. Nama 'Pelabuhan Kayangan' terdengar ditelinga saya bagai datang dari negeri dongeng. Namun kemudian sisi kanan kiri jalan mulai renggang rumah penduduk Kemudian tergantikan oleh padang ilalang kering kecoklatan ber-aura padang Afrika yang biasa saya tonton di National Geographic, ditambah segaris laut biru tua. Kalau jantung saya bisa bicara, pasti sudah teriak 'huwaa huwaa huwaaa' sambil lompat kesana kemari.

Tak lama kemudian, di depan sana, semakin dekat.....gerbang selamat datang, 'PELABUHAN KAYANGAN' menyambut kami dalam diam.


Menyebrang dengan motor terkena biaya IDR 50K (harga bervariasi tergantung jenis kapasitas mesin motor). Setelah membayar kami mengantre menunggu giliran masuk ke dalam anjungan kapal. Terakhir menyebrang laut ketika Januari awal tahun ini ke Lampung (bersama mba Jule juga!). Megumpulkan memori lebih jauh lagi lompat ke waktu lampau jaman ketika umik dan abi dinas di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.

Kapal dan laut.

Jawa, Sulawesi, Lampung, Lombok, Sumbawa. Kemudian Indonesia disebut negara kepulauan dengan belasan ribu pulaunya.

Betapa...........

Ada pasir timbul!
Kapal menderu meninggalkan pelabuhan Kayangan. Seinci demi seinci kapal dengan muatan truk-truk besar di bagian bawah menuju kesana. Sambil berpikir mengenai otak manusia. Sesederhana menerima kapal kayu nelayan dapat membawanya mencari ikan di laut tanpa tenggelam. Kemudian beberapa truk besar sekian ton dapat terangkut di atas kapal. Teknologi. Terkberkahilah bagi yang memanfaatkan kemampuan otak, mengeksplorasi ilmu yang terserak di bumi luas ini.

Mengamati penumpang lain dalam kapal. Beberapa bule tampak asyik mengamati perjalanan dengan travel bag besar di samping mereka. 'Apakah kami memiliki tujuan yang sama?'. Seorang bapak-bapak kemudian bernyanyi sebuah lagu candaan dengan lantang. Beberapa penumpang tertawa, ada yang memalingkan wajah seperti terganggu dengan suara yang tidak bisa dibilang indah. Ironi mencari nafkah.

Bosan duduk di kursi, saya bergeser duduk di lantai dekat teralis. Sedikit-sedikit dataran Sumbawa mulai terlihat. Pulau tempat beberapa teman kuliah berasal. Mempunyai teman berasal dari Bima, yang dalam pikiran saya, 'ah entah dimana itu, pokoknya disitu'. Saya tidak memiliki bayangan sejauh mana pulau Sumbawa apalagi kota Bima. Barulah saat ini saya berpikir betapa jauh perjalanan darat mereka untuk menuntut ilmu di Malang.

Pulau Sumbawa!

Setelah dua jam berlayar dan satu jam menunggu antre sandar di pelabuhan Poto Tano, kami sampai di daratan Sumbawa. Kalau diukur, sebenarnya lebih jauh jarak perjalanan ke Lampung, bahkan bila dihitung singkatnya waktu karena menaiki pesawat dari Surabaya ke Lombok. Namun secara suasana hati, merasakan degupan jantung yang lebih.

'zona Sumbawa'

Tak sampai lima menit kami sudah sampai di gerbang dermaga Poto Tano yang bersebrangan dengan kantor jembatan timbang. Kebetulan kami bertemu dengan bapak-bapak yang sedang santai di sebuah pos. Bertanya apakah ada yang bisa mengantarkan kami ke Kenawa, ternyata salah satu dari tiga bapak-bapak tersebut adalah nelayan yang bersedia mengantarkan kami ke Kenawa. Setelah sedikit tawar-menawar kami dapat harga IDR 200K.

Sumbawa menunjukkan keramahannya. Bapak-bapak tersebut menyambut kami dengan hangat setelah tahu kami hanya berdua dari Malang. Bertukar cerita mengenai pulau Kenawa yang sudah terkenal sampai ke negeri Jiran.

Sebelum ke pulau Kenawa kami terlebih dulu membeli makanan dan minuman untuk buka puasa sekalian sahur. Kami juga menyewa google glass, snorkel, dan pelampung di salah satu warung dekat dermaga dengan harga IDR 30K.

cre pic : dowith-passion.blogspot.co.id
cre pic : dowith-passion.blogspot.co.id
Jajaran rumah penduduk dekat dermaga Poto Tano. Sebagian berdinding namun sebagian besar masih beratap seng berdinding kayu. Saya melihat beberapa anak bermain perahu-perahuan dengan styrofoam besar di kubangan air kotor yang dibendung karena sampah rumah tangga. Senyum bahagia anak-anak kecil yang kontras dengan lalat berterbangan di antara tumpukan sampah--yang tentunya berpotensi menimbulkan penyakit.

Di satu sisi, saya mengagumi pada tempat tinggal mereka yang indah.


Dermaga Poto Tano
Menuju pulau Kenawa! [cre pic : dowith-passion.blogspot.co.id]
Pak Cau

Menjejakkan kaki di dermaga Kenawa, menghadap langsung palang selamat datangnya. Mengangkat tangan tinggi-tinggi, SAMPAI JUGA!

Berkecamuk dalam pikiran, 'hey, mendapati diri sendiri berdiri di pulau ini ter-angan beberapa bulan yang lalu'. Yang tak jadi angan lagi, menjadi angan yang lunas. Terimakasih Allah, orangtua, dan mba Jule!

Melihat sekeliling yang sepi, ternyata tak ada pengunjung lain selain kami! Padahal biasanya ada satu atau beberapa rombongan kalau hari biasa, berdasar informasi dari pak Cau. Antara bahagia dan sedikit ngeri. Berasa menjadi pemilik pulau pribadi.

Pulau Kenawa awalnya adalah pulau tak berpenghuni. Meski sudah tercantum secara resmi dalam kawasan bahari, namun masih dikelola oleh masyarakat--bukan pemerintah. Kemudian karena namanya yang kian tersohor dan semakin banyak pelancong yang mampir, ada penduduk yang kemudian membuat warung dan tinggal di sana. Namun karena bulan Ramadhan, warung tutup, and we were completely alone.

Sendiri--meski berdua--di sebuah pulau nun jauh dari rumah tentunya akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Tak ada toilet, tak ada penyedia pangan, tak ada listrik, apalagi penerangan. Namun alhamdulillah, masih ada sinyal Telkomsel, hehe.

Kami dibantu pak Cau menurunkan barang bawaan. Beliau berpesan untuk tetap berdoa, 'insyaAllah aman'. 

Pak Cau meninggalkan kami di pulau Kenawa, saatnya menikmati 'pulau pribadi', hehe.



'Nid! Naik ke sana tuh!'

'Oke mbak.'

..................

'Mbak ayo naik sini!'

'Ih ternyata ngeri ya naiknya, ntar kaya mana turunnya?'

'Mbak tadi nyuruh aku naik.....tak semudah itu mbak....' /seka air mata/. Haha.



Sensasi yang belum pernah saya rasakan. Dari gardu air ini sepanjang mata memandang berkeliling di setiap penjurunya terus mengundang decak kagum. Mengamati pinggiran pelabuhan Poto Tano yang setiap beberapa jam sekali disandari kapal.


Pesisir Kenawa dengan deretan saung tempat istirahat untuk para pelancong. Ada satu warung dan toilet umum, namun tidak beroperasi karena bulan Ramadhan. Sore syahdu dengan laut yang membiru.


Terdapat beberapa pulau di sekitaran pelabuhan Poto Tano. Namun pulau Kenawa memiliki keindahan tersendiri dengan ilalang pendek setinggi lutut yang membentuk gerumbulan dengan bukit kecil di salah satu ujungnya. Tanpa pohon, pulau Kenawa yang mulai menguning menyambut musim kemarau. Dikelilingi pasir putih dan terumbu karang yang elok, jangan lewatkan tanpa menyelam!


Saat kami menuju bukit, seekor kucing terus mengikuti kami. Kami berhenti, dia berhenti. Kami jalan, dia ikut jalan. Tidak tahu darimana asalnya kucing ini. Mungkin milik pemilik warung, kemudian tertinggal di sini sendirian. Hingga malam dia menemani kami. Saya beri nama 'Ika', si kucing Kenawa. Namun kemudian keeseokan harinya dia tidak lagi bersama kami. 

Saya dan mba Jule tidak membahas masalah ini sampai perjalanan berakhir, saya berpikir, mungkin dia semacam 'teman'. Wallahua'lam bisshawab.

Berencana buka puasa di puncak bukit, kami menyusuri jejak yang dibentuk oleh pejalan terdahulu.

Bayangan puncak bukit oleh matahari senja mulai mengekspansi daratan pulau di bawah sana.



Memandangi pulau Sumbawa dari sisi sana, saya mendapatkan pemandangan siluet gunung Rinjani dari sisi sini. Menunggu sang surya tenggelam di balik punggungnya, menikmati bias cahaya pada lautan yang menguning.



Judulnya, 'Mengendarai Matahari'


Sambil menunggu adzan maghrib, kami menghabiskan waktu dengan tilawah dan berdzikir. Namun karena tak kunjung mendengar suara adzan, berbekal informasi waktu maghrib dari pak Cau, saya berulang kali melirik jam tangan menikmati tiap menit seiring menggelapnya langit. Desau angin menjadi pengantar buka puasa di tanah saudara, pulau Kenawa.

Sumber energi berupa roti dan air mineral membawa kami turun ke bawah menuju tampat barang bawaan. Terdapat satu saung yang cukup luas dan bersih untuk shalat dan beristirahat. Tapi tidak lama kemudian setelah shalat maghrib, di bawah atap jerami yang gelap suara-suara mengerikan mulai berdengung bersahut-sahutan.

Nyamuk.

Entah karena sangat sepi, saya juga tidak bisa memperkirakan sebesar apa nyamuknya, dengung nyamuk tersebut terdengar mengancam di telinga saya meski sudah mengoleskan lotion anti nyamuk di tangan dan wajah. Akhirnya mba Jule memberi ide untuk tidur di dermaga....apakah terdengar merana?

Di dermaga Kenawa kami menggelar jaket LDK (ekhem) sebagai alas shalat isya dan tarawih. Menyaksikan berkas sore yang kian memudar di balik Rinjani menyusul titik-titik cahaya di pelabuhan yang mulai dinyalakan. Sesekali waspada mendengar deru perahu kapal nelayan yang lewat mencari ikan di malam hari.

Di atas dermaga saya dan mba Jule bersujud ke arah barat, mengira-ngira arah kiblat yang pas. Menikmati setiap takbir sambil terus merapal doa agar selalu dilindungi Allah dijauhkan dari marabahaya baik dari langit maupun di bumi. Setiap rakaat yang diiringi deburan ombak selain sunyi. Beratap langit dengan saputan awan dan gemerlip bintang.

Menghabiskan salah satu malam di bulan Ramadhan tanpa suara adzan.

Menghabiskan jajanan melepas lelah berbaring menyamankan diri, meluruskan punggung merasai angin yang tertahan jaket. Mencoba menggapai dunia kapuk rasa kayu dengan air beriak di bawahnya.

Malam yang semakin larut......

Meski sudah 'melarikan diri' berbaring di atas dermaga berharap jauh dari pasukan nyamuk, sepertinya mereka tak menyerah. Sesekali saya harus menghalau dengungan nyaring nyamuk-nyamuk. Desau angin, alunan ombak, dan dengung nyamuk membuat saya antara terjaga dan tidak terjaga.

Kemudian disuatu detik saya merasa hilang, jatuh lelap tertidur.

Hingga...........................

Sekitar jam 3  udara terasa semakin dingin hingga terasa titik air di wajah. Hujan! Dengan tergesa saya dan mba Jule bangun dan membereskan barang-barang, ngibrit menuju saung terdekat. Mengais sisa kelelapan tidur yang sesaat tadi. Oh hujan....

Bagian 'ekor' pulau Kenawa.
Besoknya kami terbangun karena kehujanan! Sahur roti, mandi di laut, airnya sebersih kaca! Naik ke bukit berbatu, batunya terpecah belah....kemudian baru di beri tahu oleh pak Cau bahwa tempat kami tadi main air.....banyak ularnya! Baca juga hari kedua di Kenawa di sini :)

4 comments:

  1. Replies
    1. Iya! Can't agree more, apalagi kalau kita jadi pengunjung satu-satunya. One day-private island hehehe~

      Delete
  2. Mbaaaaaaaaa itu bukitnya bagus banget. Yang di foto dari atas gardu. Masyallah ^^ Sendirian ya di pulau. Pas puasa lagi yah?

    Saya sendiri belum pernah ke lombok, bahkan baru tau soal pulau kenawa dari blog ini.

    Makasih infonya. Nanti aku catet kalau suatu saat ke lombok.

    Keren mbaa itu fotonya pakai kamera apakah? DSLR ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaaa bangeeet *_____________* keren dah pokonya, masyaAllah~~~
      berdua sih, tapi ya satu rombongan hitungannya. Yes waktu puasa, nganar sekaligus tadabbur alam, alhamdulillah :)

      Yuk mari ke Lombok, worth it, ga bakal nyesel deh mba ^_^ waah~ padahal lagi viral banget loh. Harus haruss! Nanti dari Lombon nyebrang dikit ke Sumbawa yah :) dari pelabuhan cuma 10 menit jalan kaki ko ^_^

      Hehe, iya, aku pake Nikon D5300 :)

      Delete

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya.

Bila berkenan sila meninggalkan komentar, supaya; 1) saya bisa tahu kamu, kita berkenalan, saya mampir ke blog kamu, kita menjadi teman! 2) beritahu saya apabila ada kritik dan saran.

Sekali lagi, terimakasih banyak :)

Instagram