Seri "Puasa di Tanah Saudara" bagian 6
| bagian 1 Bukit Malimbu | bagian 2 Pantai Seger | bagian 3 Tanjung Aan dan Bukit Merese| bagian 4 Bukit Nipah | bagian 5 Gili Air 1 | bagian 6 Gili Air 2 | bagian 7 Pulau Kenawa 1 | bagian 8 Pulau Kenawa 2 | bagian 9 Desa Mantar | bagian 10 Pantai Sekotong dan Mekaki | bagian 11 Taman Narmada |
Suatu pagi, tanggal 15 Juni 2016, hari ke sembilan bulan Ramadhan. Memulai hari dengan melipir ke pinggir pantai memandangi sebayang gunung Rinjani di depan sana.
Anggunnya Rinjani terbaring bersanding Gili-gilian. |
Perahu nelayan terombang-ambing sendiri di pagi buta. |
Berbincang banyak hal mengenai Gili Air dengan ibunya Memy. Semua penduduk asli Gili Air beragama Islam. Hanya ada satu masjid di pulau ini, membuatnya ramai akan jamaah. Saya rasakan sendiri ketika ibunya Memy mengajak kami shalat tarawih di masjid. Ketika itu kami harus melewati halaman yang luas, menyusuri jalan setapak kampung, dan beberapa kali melewati area tanpa penerangan. Maasya' Allah gelapnya....
Di pulau ini pula keluarga Memy memperlakukan kami dengan sangat baik dengan jamuan yang sangat lezat. Semoga Allah membalas segala kebaikan keluarga Memy, amin.
Lampu berselubung botol aqua, kreatif. |
Terkadang dunia hanya sebentangan daun kelor, sempit, kecil. Tapi seringnya lagi, dalamnya samudra, tingginya angkasa, lebatnya hutan, masih belum terjamah. |
"Aku memang sendiri, diterpa ombak. Tak seperti kau yang berada di antara kawanan. Namun marilah beradu kekuatan dan ketabahan bertahan di alam." |
Olahraga pagi beraroma pantai. |
Sore hari sekitar jam empat sore saya memutuskan untuk mengitari pulau Gili Air dengan estimasti waktu 1.5 jam. Jujur saja sedikit takut. Dengan jubah dan jilbab, saya merasa menjadi turis asing, hehe.
Beberapa kali berpapasan dengan pegawai kafe dan bersirobok pandang yang membuat saya keki antara senyum atau tidak. Namun semakin jauh saya melangkah, ke keki an itu semakin memudar. Masyarakatnya sungguh ramah, meski beberapa kali saya dipanggil 'ustadzah'. Di aminin saja deh!
Bahkan ada yang menawari mampir di kafenya untuk menikmati senja.
'Ayo mbak silahkan mampir dulu, suka foto-foto ya?' merujuk pada kamera yang saya genggam. Saya tersenyum tipis.
'Hehe, iya pak, terimakasih.' Kata saya sambil menunjukkan gestur menolak.
'Nggak papa mbak, sunset dari sini bagus. Ayo duduk saja, ga bayar kok' akhirnya saya nyengir lebar. Tahu saja bapaknya saya tidak bawa uang.
'Iya pak, terimakasih sekali. Tapi saya dikejar waktu, harus kembali sebelum maghrib.'
Padahal memang titik kafe bapak tersebut sangat strategis untuk melihat matahari tenggelam. Berhadapan langsung dengan sisi barat pulau dengan area pasir yang lumayan luas. Tapi memang dikejar waktu, kecil-kecil begini, mengelilingi Gili Air juga sampai ngos-ngosan.
Lain waktu bertemu dengan seorang paman yang menyapa saya dengan bahasa Jawa. Bahasa Jawanya cukup lancar meski logatnya tidak medhok. Ketika saya tanya mengapa bisa lancar Boso Jowo, beliau bilang bahwa sering bekerja sama dan banyak berteman dengan orang Jawa.
Suasana Gili Air di sore hari. Kalau kata Memy, sekarang masih low season karena bulan Ramadhan. Biasanya sepanjang bibir pantai penuh akan turis. |
Gili Air menjanjikan banyak paket wisata air yang indah. |
Seafood segar |
Sayangnya, belum ada kesempatan untuk berfoto di ayunan ini |
Bolehlah kami suatu saat berkunjung lagi. Tak sampai tiga jam memang mengelilingi pulau mungil ini. Tapi keindahan yang mengelilinginya jangan dianggap santai. Mulai dari snorkeling, diving, bertemu kura-kura, dan lain-lain.